Genre yang kedua, masih dalam kondisi meyakinkan. Meski tidak begitu dicintai penerbit seperti halnya novel, tapi cerpen masih sangat dilindungi oleh koran dan terbitan-terbitan berkala lainnya seperti majalah, tabloid, dan indie publisher. Lihat saja, setiap Minggu kita bisa menikmati cerpen dari media-media (massa–cetak) tersebut dengan ekspresi literer yang beragam.
Sedikit berbeda dengan novel dan cerpen, keberadaan puisi dan drama justru jauh lebih lestari. Hal ini disebabkan keduanya mengalami revitalisasi dalam kantung-kantung sastra berbasis komunitas. Pementasan-pementasan puisi dan drama masih sering kita temui di berbagai daerah. Bahkan, meski dijauhi penerbit-penerbit buku, tetapi beberapa ruang koran masih melindungi keduanya dalam kadar serba terbatas. Genre yang disebut terakhir, bisa dibilang terancam mati. Esai berupa kritik sastra sangat tidak akrab dengan penerbit-penerbit buku, jarang pula hadir dalam koran-koran secara berkala, juga tidak berkembang dalam kantung-kantung komunitas.
Gejala tersebut, barangkali disebabkan kritik sastra memang tidak menjanjikan keuntungan material. Kritik sastra yang umumnya kental dengan dunia akademis dan ilmiah dianggap mempunyai pasar sempit. Atau, bisa juga disebabkan beratnya beban yang dipikul para lulusan jurusan sastra karena menjadi seorang kritikus, ya seperti itu tadi, tidak menjanjikan keberlimpahan material. Sehingga mereka memilih menjadi pegawai bank, asuransi, leasing, atau menjadi marketing dadakan dalam sebuah perusahaan otomotif dan nutrisi.
Selanjutnya, bisa juga disebabkan, bahwa kritik sastra itu sudah tidak penting. Sudah tidak relevan lagi, mengingat siapa pun boleh menulis dan mengklaim dirinya penyair, cerpenis, novelis, atau esais dengan bermodal terbit dalam status-status media sosial dan blog-blog tanpa harus peduli konvensi-konvensi baku tentang bagaimana seharusnya sastra ditulis.
Dalam konteks ini menarik memperbincangkan tulisan almarhum Veven Sp. Wardhana yang berjudul “Kritik Sastra Sampul Belakang” (Kompas, 27 Januari 2013) yang menyoroti fenomena endorsement di sampul belakang buku. Ia menyayangkan, bahwa para penerbit buku seringkali memakai endorsement karena sudah bisa ditebak, jika yang terbit adalah buku-buku sastra, endorsement tersebut tentu berasal dari sastrawan cum kritikus sastra terkemuka. Para penerbit ini, terkadang seenaknya mengutip kritik sastra untuk di tempatkan di sampul belakang buku, yang isinya hanya kesan berupa puja-puji kepada penulis dan isi buku. Tidak perlu dijelaskan panjang lebar kenapa para penerbit melakukan ini, dengan akan akal sehat pun sudah bisa dimengerti; agar laku dan untung.
(Maman S. Mahayana, satu dari sedikit kritikus sastra yang masih tersisa di Indonesia)
Tren endorsement yang ditunggangi kepentingan komersil ini membuat kritik(us) sastra, tereduksi fungsinya—hanya sekadar alat rekomendasi, penopang omzet penjualan, lebih tragis lagi hanya disajikan 3 hingga 5 baris kalimat. Membuat kritik sastra, seperti kapal kehilangan jangkarnya kata Radhar Panca Dahana.[5] Terduksinya kritik sastra, “… merupakan gejala umum dunia (kesusateraan) yang diakibatkan oleh komersialisasi karya, yang sudah eksisif bahkan desisif dalam menentukan keunggulan hingga kualitas karya.”
Apakah kemudian hal ini berpengaruh terhadap kelangsungan kesusasteraan? Jawabannya, tentu saja berpengaruh. Ketiadaan kritik(us) sastra berpotensi menyebabkan karya-karya sastra kehilangan arah. Tanpa kritik(us) sastra, karya-karya sastra akan memproklamirkan dirinya sebagai bagian dari selebrasi kapitalisme dan kekuasaan yang menggurita dalam media.
******
Kritik(us) sastra sangat penting, mengingat bertebarannya karya sastra bersama teks-teks iklan, berita koran, majalah dewasa, dan wacana politik tentu membutuhkan sebuah kontrol. Dan, pada kondisi inilah, kritik(us) sastra mesti berperan aktif. Tugas yang berat tentu saja karena tugas kritik(us) sastra bukan lagi menghakimi bahwa sebuah karya bernilai sastra atau tidak. Bukan juga memberi rekomendasi bahwa karya ini harus dibeli sedangkan yang lain tidak. Pun, mengunggulkan karya kolega dan golongannya lebih unggul dari yang lain. Melainkan untuk memberikan apresiasi yang kritis. Apresiasi yang dengannya mampu membangkitkan serta merangsang—melalui kritik-kritik proporsional—si pengarang bisa berkarya lebih baik, lebih peka, dan lebih kritis lagi. Khusus lebih peka dan lebih kritis, kritik(us) sastra bisa berperan menjadi juru selamat mengembalikan spirit romantik sastra yang tanpa henti menggerakkan perlawanan (movere) terhadap kekuasaan yang menindas. Seperti kata Faruk, “ (sastra) sebagai karya imajinatif, simbolik, yang berguna bagi perlawanan terhadap budaya modern yang sekuler dan prosaik.”(Faruk,1995: 157).