Mohon tunggu...
Muhammad Iqbal Awaludien
Muhammad Iqbal Awaludien Mohon Tunggu... Penulis - Penulis konten suka-suka!

Berbagi informasi dan gagasan. Tergila-gila pada sastra, bola, dan sinema. Email: iqbalawalproject@gmail.com Blog: https://penyisirkata.blogspot.com/

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Menimbang Kembali Kematian (Kritik) Sastra!

11 Februari 2016   10:34 Diperbarui: 11 Februari 2016   11:31 624
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Situasi paradoksal pun muncul akibat hal ini; di satu sisi sastra memiliki patron tetap yang melindunginya. Di sisi lain sastra kehilangan otonomi. Otonomi yang berhubungan dengan kebebasan ekspresi, kedalaman daya gugah, dan keliaran imaji yang menjadi senjata utama sastra. Sastra menjadi bergantung kepada ruang media, yang walaupun secara kasat mata tak terbatas, tetapi sebetulnya begitu sempit. Oleh karena, mereka (media) pada akhirnya menjelma sebagai hakim; apakah sebuah karya sastra layak terbit atau tidak, apakah sebuah karya akan diterima luas, mendatangkan keuntungan, tidak laku serta begitu banyak lagi “apakah” nantinya.[3] Jadi, bagaimana masa depan sastra kalau begitu? Mengingat, zaman teknokapitalis tidak bisa dilepaskan dari jejaring media?

J. Hillis Miller, salah satu dedengkot teoritisi sastra masa kini merumuskan formula mengenai masa depan sastra. Ia mencoba menelusuri perkembangan sastra dalam pengertian modern yang dimulai sekitar awal abad ke-18. Ketika sastra muncul di Barat, bersamaan dengan itu berkembang pesat kemelekhurufan, demokrasi, dan tumbuhnya negara-bangsa. Pada masa tersebur, sastra menjadi tolok ukur apakah sebuah bangsa lebih beradab atau kurang beradab dibanding yang lain, sebuah fungsi yang bertahan hingga PD I, PD II, dan Perang Dingin. Dalam ketiga tragedi paling mengerikan sejarah umat manusia tersebut, sastra menemukan vitalitas dan muncul dengan berbagai varian yang belum pernah ada sebelumnya. Sastra menjadi alat atau media dalam pengertian postmodern; sebagai penegas identitas nasional, pemersatu bangsa, penegak kemanusiaan, simbol perlawanan kaum tertindas, perjuangan kelas, ataupun ekspresi personal (eksistensialis).

(Tragedi perang, kematian, dan pemerintahan yang tiran biasanya menjadi inspirasi para sastrawan untuk menghasilkan karya monumental)

Selanjutnya, dunia melangkah ke luar dari Perang Dingin. Menumbuhkan gejala baru bagi sastra, yaitu sastra bergeser posisi dan fungsinya hanya sebagai pelengkap dari selebrasi masyarakat dunia yang mengklaim dirinya semakin beradab sekaligus materialistis. Sastra melebur dalam budaya massa, bercampur tanpa sekat dengan musik, sinema, reality show, opera sabun, dan yang paling mutakhir komputerisasi dan digitalisasi. Dimulai dari sinilah, suara-suara mengenai wacana kematian sastra lantang bergema (Miller, 2010: 4).

Cukup jelas terlihat bahwa sastra sebagai sebuah ilmu paling purba—sepurba manusia itu sendiri—tidak akan pernah mati. Sejarah telah membuktikan: saat kata-kata paling awal terucap dari bibir-Nya dan Adam, lalu ditulis dalam perkamen, hingga kertas cetak Gutenberg, dan saat ini berbentuk digital, sastra tetap Ada. Kematian sastra hanya berhubungan dengan transformasi bentuk dan terkuburnya sastra (modern) yang selama berabad-abad identik dengan karya cetak.[4]

Memang tidak bisa dimungkiri bahwa teks-teks cetak sedang ngos-ngosan mengejar teks-teks digital yang bisa diproduksi berjuta kali lebih cepat daripadanya. Kematian dunia cetak merupakan sebuah keniscayaan, yang tidak perlulah kita repot-repot menghabiskan tenaga untuk mencegahnya.

Konteks Indonesia

“Saat jurnalisme dibungkam kuasa, sastra bicara”. Begitu kredo Seno Gumira Ajidarma. Hal ini membuktikan kedahsyatan kekuatan sastra sebagai suara alternatif dalam menyuarakan kebenaran (baca: fakta). Masa Orde Baru yang represif, yang membungkam suara-suara kritis para pewarta dan institusi media membuat sastra menempati posisi vital. Sastra memenuhi takdirnya sebagai oposisi, sebagai medan pergulatan antara mitos dan fakta. Ia menyediakan ruang, ketika ketertiban rezim terus menekan. Pada zaman ini, antara media massa dan sastra terjalin hubungan saling melengkapi, saling menopang.  

Namun, sekarang Orde Baru sudah runtuh. Diganti Reformasi yang menjanjikan terbukanya keran kebebasan ekspresi dan berpendapat. Kecenderungan ini membuat media massa bergeser posisinya. Bukan lagi sebagai pengabar fakta, alat kontrol terhadap kekuasaan, penerang kegelapan masyarakat serta korban dari kekuatan represif. Melainkan sebagai salah satu aktor utama, si Pemenang, selain mahasiswa dan para tokoh reformasi, dalam meruntuhkan sebuah rezim. Terutama dalam era informasi, media massa sudah menjadi satu-satunya sumber rujukan kita mengenai dunia, orang lain, bahkan diri kita sendiri. Pada kondisi ini terancamkah kehidupan kesusateraan Indonesia? Di tengah dominasi media massa yang semakin komersil dan sensasional.

(Koran cetak, pengabar fakta, alat kontrol terhadap kekuasaan, penerang kegelapan masyarakat serta korban dari kekuatan represif. Masih kah demikian?)

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, perlu sebuah koreksi kritis dan pembeberan klasifikasi genre sastra itu sendiri. Karena pada kenyataannya, tidak semua genre sastra; sebut saja (1) novel, (2) cerpen, (3) puisi, (4) drama, dan (5) esai-kritik sastra mengalami nasib sama. Genre nomor satu termasuk paling beruntung. Eksistensinya dilindungi penerbit-penerbit buku, beberapa di antara mencapai status best seller. Sebagai contoh, Ayat-Ayat Cinta, Laskar Pelangi, Negeri 5 Menara, 5 cm, dan Gajah Mada, untuk menyebut beberapa judul.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun