Mohon tunggu...
Indri Hapsari
Indri Hapsari Mohon Tunggu... Pengajar -

Perangkai aksara dalam ruang 3 x 3

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Lelaki

18 Januari 2014   12:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:43 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau tahu, nak...
Cinta itu sulit dipahami. Sama sulitnya ketika kita mencoba memahami lelaki itu, yang aku cintai tapi malah kau benci. Tapi bukan itu, nak. Bukan kejahatannya yang ingin Ibu ceritakan kepadamu, melainkan kebaikannya. Ibu harap, ini akan membuatmu mencintainya sama seperti Ibu.

Hujan mengguyur Palembang begitu derasnya. Membuat kuyup gedung-gedung dan gadis belia yang terkapit di antaranya. Mencoba menghalangi hujan dengan tangannya, usaha yang nihil.

Baju hijau kusamnya telah sempurna menempel ke kulit. Gigilannya bergelung di antara ikal rambutnya sebelum membentur dinding gedung. Menimbulkan suara pilu, sepilu kantung bajunya yang tipis.

"Dua puluh lima lagi," katanya seraya memeluk kresek yang tersembunyi di dalam bajunya.

Gadis itu menyukai hujan, karena hanya hujan yang mampu menyembunyikan ruah tangisnya. Ia selalu mengharapkan hujan melenguhi debu-debu kepedihan di kujur tubuhnya lalu menguapkan tengik keringat. Tapi, malam ini, untuk pertama kalinya ia tak mengharapkan hujan.

"Dua puluh lima, lagi."

Hujan pun berangsur gerimis. Kakinya mulai melangkah keluar dari kepitan gedung yang dijaga pria-pria berseragam yang tak pernah memberinya izin berteduh, barang sebentar.

Deru kendaraan semakin sedikit kala ia masih menyisiri jalan. Menjajakan kreseknya pada orang-orang congkak di dalam kendaraan warna-warni mereka yang hangat.

Tak sedikit pun orang-orang itu menoleh padanya atau hanya tak terlihat karena filter kaca yang gelap? Entahlah, ia tak tahu. Dalam pikirannya hanya satu, dua puluh lima itu harus habis. Harus!

Tanpa sadar, waktu pun beranjak ke angka sepuluh. Kelenjar airmatanya seakan pecah karena dua puluh lima isi kreseknya tak jua berkurang. Padahal suaranya telah pun parau. Kakinya mulai lemas dan ia pun memilih bersandar ke tiang lampu lalulintas. Saat ia tengah tersedu, seseorang memanggilnya dari Pajero. Kepalanya mendongak pada suara itu.

"Dik, kamu yang jualan opak kemarin, kan?"

Kepalanya hanya mengangguk. Gurat wajah orang itu asing di matanya. Pernahkah Bapak ini membeli opakku? Batinnya.

"Opaknya masih ada?"

"Masih, ada dua puluh lima, Pak..." suaranya sesegukan.

"Loh, kamu kok nangis?"

"..."

"Sini-sini, saya beli semua opakmu, supaya kamu nggak nangis lagi. Ini juga untuk istri saya yang sedang ngidam."

Seketika hormon yang membawa bahagia disekresikan dalam tubuh gadis itu. Opaknya pun berganti dengan selembar uang bergambar presiden pertama Indonesia.

"Ambil saja kembaliannya," senyum merekah di bibir Bapak itu, diikuti rekahan senyum si gadis.

"Kamu pulang ke mana? Mau Bapak antar?" Pelanggannya itu menilik jam. "Sudah jam sebelas ini, ayo naik, biar Bapak antar kamu."

Setengah jiwanya menolak. Teringat pesan Ibunya tentang orang asing. Tapi, setengah yang lainnya ternyata lebih dominan. Naik mobil mewah adalah impiannya, ya, impiannya. Meskipun sekarang, mobil mewah ini bukanlah miliknya.

Pelanggannya pun tahu betapa perih hidup gadis itu. Dua puluh lima opak yang tersisa itu, jika tak habis. Maka ia tak bisa membeli obat untuk Ayahnya yang sakit.

Pelanggan itu, bisalah ia sebut malaikat, karena pelanggannya itu memberi Ibu uang untuk berobat Ayah ke rumah sakit. Hingga sembuh, katanya.

Sebelum uang itu di tangan sang Ibu. Pelanggan itu berbincang. Sayup terdengar kata libido dan tinggi. Istilah yang terlalu asing baginya, tapi Ibunya seakan mengerti.

Singkat cerita, gadis itu pun menikah bawah tangan dengan pelanggannya itu. Tak sedikit pun sedih tersemburat di hati dan wajah gadis itu. Ia senang karena menikah dengan malaikat. Lagi pula, umurnya telah cukup untuk memiliki anak. Demi sang Ayah pula yang berangsur membaik kondisinya.

Rumah tangganya tak pernah bercek-cok. Suaminya selalu terbuka padanya. Uang selalu cukup di kantungnya yang dulu tipis. Dan ia pun baru tahu arti libido itu. Mengapa suaminya tak malu berkata jujur pada Ibunya dulu? Apa karena suaminya memang orang yang terbuka.

Dua tahun setelah anak istri pertama suaminya lahir. Laki-laki. Anaknya sendiri pun lahir. Perempuan. Lengkaplah kebahagiaan suaminya.

Kamulah anak perempuan suaminya itu, Nak. Akulah gadis itu. Ibumu. Jadi, nak, Bapak tidak berselingkuh dengan wanita lain, justru Ibu yang hampir merusak pernikahan pertamanya.

Dan bukan salah Bapak jika akhirnya menceraikan Ibu karena istri pertamanya telah tahu dan mengamuk. Bapak pun tak ingin meninggalkan kita, Nak. Percayalah, Ibu bahagia memilikinya sebagai suami Ibu. Ibu mencintainya. Cinta yang tumbuh diam-diam selama pernikahan kami.

Kini kamu tahu yang sebenarnya, Nak. Bapak mungkin tak lagi membagi waktunya untuk kita. Tapi, lihatlah hidup kita, Nak. Semua pemberiannya. Jangan kamu bilang tak membutuhkan ini, Nak. Karena inilah wujud sayangnya kepada kita. Cintai ia seperti Ibu yang mencintainya, Nak.

-Penuh cinta, Ibumu.-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun