Kepalanya hanya mengangguk. Gurat wajah orang itu asing di matanya. Pernahkah Bapak ini membeli opakku? Batinnya.
"Opaknya masih ada?"
"Masih, ada dua puluh lima, Pak..." suaranya sesegukan.
"Loh, kamu kok nangis?"
"..."
"Sini-sini, saya beli semua opakmu, supaya kamu nggak nangis lagi. Ini juga untuk istri saya yang sedang ngidam."
Seketika hormon yang membawa bahagia disekresikan dalam tubuh gadis itu. Opaknya pun berganti dengan selembar uang bergambar presiden pertama Indonesia.
"Ambil saja kembaliannya," senyum merekah di bibir Bapak itu, diikuti rekahan senyum si gadis.
"Kamu pulang ke mana? Mau Bapak antar?" Pelanggannya itu menilik jam. "Sudah jam sebelas ini, ayo naik, biar Bapak antar kamu."
Setengah jiwanya menolak. Teringat pesan Ibunya tentang orang asing. Tapi, setengah yang lainnya ternyata lebih dominan. Naik mobil mewah adalah impiannya, ya, impiannya. Meskipun sekarang, mobil mewah ini bukanlah miliknya.
Pelanggannya pun tahu betapa perih hidup gadis itu. Dua puluh lima opak yang tersisa itu, jika tak habis. Maka ia tak bisa membeli obat untuk Ayahnya yang sakit.