Kau tahu, nak...
Cinta itu sulit dipahami. Sama sulitnya ketika kita mencoba memahami lelaki itu, yang aku cintai tapi malah kau benci. Tapi bukan itu, nak. Bukan kejahatannya yang ingin Ibu ceritakan kepadamu, melainkan kebaikannya. Ibu harap, ini akan membuatmu mencintainya sama seperti Ibu.
Hujan mengguyur Palembang begitu derasnya. Membuat kuyup gedung-gedung dan gadis belia yang terkapit di antaranya. Mencoba menghalangi hujan dengan tangannya, usaha yang nihil.
Baju hijau kusamnya telah sempurna menempel ke kulit. Gigilannya bergelung di antara ikal rambutnya sebelum membentur dinding gedung. Menimbulkan suara pilu, sepilu kantung bajunya yang tipis.
"Dua puluh lima lagi," katanya seraya memeluk kresek yang tersembunyi di dalam bajunya.
Gadis itu menyukai hujan, karena hanya hujan yang mampu menyembunyikan ruah tangisnya. Ia selalu mengharapkan hujan melenguhi debu-debu kepedihan di kujur tubuhnya lalu menguapkan tengik keringat. Tapi, malam ini, untuk pertama kalinya ia tak mengharapkan hujan.
"Dua puluh lima, lagi."
Hujan pun berangsur gerimis. Kakinya mulai melangkah keluar dari kepitan gedung yang dijaga pria-pria berseragam yang tak pernah memberinya izin berteduh, barang sebentar.
Deru kendaraan semakin sedikit kala ia masih menyisiri jalan. Menjajakan kreseknya pada orang-orang congkak di dalam kendaraan warna-warni mereka yang hangat.
Tak sedikit pun orang-orang itu menoleh padanya atau hanya tak terlihat karena filter kaca yang gelap? Entahlah, ia tak tahu. Dalam pikirannya hanya satu, dua puluh lima itu harus habis. Harus!
Tanpa sadar, waktu pun beranjak ke angka sepuluh. Kelenjar airmatanya seakan pecah karena dua puluh lima isi kreseknya tak jua berkurang. Padahal suaranya telah pun parau. Kakinya mulai lemas dan ia pun memilih bersandar ke tiang lampu lalulintas. Saat ia tengah tersedu, seseorang memanggilnya dari Pajero. Kepalanya mendongak pada suara itu.
"Dik, kamu yang jualan opak kemarin, kan?"