Mohon tunggu...
Dian Minnie
Dian Minnie Mohon Tunggu... Administrasi - Dosen - Pengacara - Conten Creator - Coppy Writing - Bisnis Owner

Suka bepergian dan menikmati hidup

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Pengalaman "Resign" Sebelum Mendapat Pekerjaan Pengganti

8 Juli 2018   15:47 Diperbarui: 10 Juli 2018   08:38 17132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi (pixabay)

Teman / Kerabat  (TK): Hey, katanya kamu resign? Emang habis ini mau kemana?

Saya (S) : Hehehe...... Iya nih, belum tahu mau kemana. Belum mulai apply-apply lagi. Ada Tawaran?

T : Ngajar aja rak wes, jadi Dosen. 

K : Serius? Terus kenapa resign kalau belum dapat pengganti? Mendingan nunggu dulu aja sambil nyari-nyari. Lagian disitu kan sudah enak, ngapain resign segala.

Bagi penganut paham "yang pasti-pasti saja" mungkin penggalan percakapan di atas sangat asing dan tidak pernah dialami. Namun bagi yang mengikuti  prinsip "yang penting RESIGN dulu, lain-lain pikir keri alias dipikir nanti belakangan" tentunya situasi tersebut sangat familier. Ditambah lagi jika kita resign pas sebulan atau dua bulan mendekati lebaran. Pasti akan tambah pernyataan, "kenapa nggak habis lebaran aja, biar dapat THR dulu." 

Saya kebetulan termasuk yang golongan kedua. Banyak orang terdekat heran dan terlongo heran saat saya bilang belum punya pekerjaan lain. Padahal ini bukan kali pertama saya resign sebelum dapat pekerjaan pengganti. 

Tetapi memang ini pekerjaan terlama saya dengan posisi dan prestise yang lumayan 'bergengsi' sehingga membuat orang tidak percaya bisa dengan mudah memutuskan resign sebelum dapat pekerjaan pengganti. Mungkin herannya orang terdekat sama dengan heran saya yang sering bertanya-tanya tentang konsep jodoh kali ya. "Kok bisa?" 

Banyak tanggapan pro dan kontra saya terima saat akhirnya memutuskan untuk tetap resign meski belum menemukan pekerjaan pengganti. Ada yang pura-pura takjub mengagumi keberanian (atau kenekatan?) saya. 

Ada pula yang menganggap saya gegabah, sombong, pongah, mudah menyerah dan bodoh. (Magister lho, dianggap bodoh hehehe....). Tak jarang mereka menyelipkan beberapa nasihat bahwa lelah dan jenuh dengan pekerjaan itu hal biasa, bergesekan dengan teman kerja itu hal biasa. Tidak seharusnya sampai membuat saya nekat keluar tanpa rencana yang matang. 

Resign tanpa pekerjaan pengganti memang penuh risiko. Jujur saja, predikat pengangguran itu memang menyeramkan. Apalagi saya tidak tahu kapan akan kembali mendapat pekerjaan. 

Memang sebelum resign sudah ada yang melirik saya, tetapi dengan berbagai pertimbangan saya putuskan untuk tidak mengambil kesempatan tersebut. Saya tidak ingin timbul prasangka ada kemelut atau politik di tempat kerja sebelumnya sehingga memilih tempat lain dengan tawaran posisi dan keahlian yang sama. 

Beberapa kali resign, saya mempunyai prinsip bahwa tidak akan masuk ke lingkungan yang sama dengan lingkungan kerja sebelumnya.

Misalnya saya resign dari pabrik, maka saya tidak akan menerima tawaran kerja atau melamar di pabrik lagi dengan posisi yang sama. Saya selalu berprinsip, jangan pernah mau punya pekerjaan yang sama selama mungkin. Harus ada peningkatan dan perkaya skill, cari peluang meskipun harus loncat keluar.

Beberapa kali resign sebelum punya pekerjaan pengganti membuat saya sangat paham beberapa hal ini:

1. Setiap keputusan sudah mengalami pertimbangan yang panjang. Meski diragukan, saya merasa perlu mengapresiasi keputusan ini

Hanya saya yang tahu kegalauan apa yang diri ini alami setiap kali pulang ke rumah dengan tubuh lelah. Hanya saya yang tahu bagaimana akhir pekan menjadi penghiburan yang terindah setelah enam hari mengalami tekanan. 

Hanya saya yang tahu situasi yang saya rasakan di tempat kerja, dan hanya Saya yang tahu, berapa lama batin saya bergolak, bertanya pada diri sendiri benarkah keputusan yang saya ambil ini.

Biar saja orang bilang saya sembrono, gegabah, pongah dan sombong. Satu yang saya tahu, keputusan ini diambil bukan tanpa pertimbangan atau pergulatan atas segala kebimbangan. Karena itu, saya merasa perlu untuk mengapresiasi diri sendiri (lebih tepatnya menghibur diri dan membela diri). 

Butuh keberanian besar untuk mengantarkan surat resign ke meja atasan. Apalagi jika atasan kita itu sangat sangat baik dan loyal terhadap kita sebagai bawahannya.

2. Saya memang harus berpikir "Mau apa sekarang" setiap pagi

Lalu apakah hidup saya damai-damai saja setelah berganti status sebagai "pengacara" alias pengangguran tanpa acara? Jelas tidak. Saya masih harus menjawab pertanyaan maha sulit "sekarang dimana?"

Setelah resign, saya harus segera menentukan langkah selanjutnya. Karena bagaimanapun menjadi pengangguran terlalu lama bukan tujuan. Namun sekarang, dengan ketiadaan deadline pekerjaan dan telepon-telepon atasan yang menagih pekerjaan, bisa lebih fokus untuk menentukan mau apa saya setelah ini.

Saya bisa browsing-browsing lowker tanpa sembunyi-sembunyi. Saya bisa mendatangi panggilan interview atau seminar-seminar untuk meningkatkan skill tanpa perlu mengarang sakit atau ada keperluan keluarga untuk bisa hadir.

3. Melepaskan diri dari sesuatu butuh jeda untuk menenangkan diri. "Istirahat" dulu di rumah membuat saya bisa berpikir lebih jernih

Apakah pernah menyesali keputusan yang saya ambil? Terkadang, iya. Apalagi jika dikaitkan dengan prestise, keinginan untuk nonton bioskop atau sekedar nongkrong makan di cafe sementara uang di dompet kian tipis.

Namun satu hal yang saya pahami, sembari mencari peluang baru, ini adalah waktu bagi saya untuk memanjakan diri. Mungkin menyempatkan diri untuk piknik bersama keluarga ke tempat-tempat seru yang selama ini cuma angan-angan saja.

Atau sekedar makan malam bersama keluarga mengganti waktu yang selama ini sempat hilang dengan banyaknya pekerjaan atau menyalurkan hobi saya menulis dan membaca. Hal-hal sederhana semacam itu sudah cukup memberi saya ruang baru untuk bisa berpikir jernih.

4. Tak punya penghasilan dari pekerjaan tetap memaksa saya untuk lebih kreatif dan ubet

Saya adalah aktor dari film yang saya sutradarai. Meskipun rejeki, jodoh dan maut telah diatur, namun rejeki itu seperti jodoh yang harus dijemput. Tidak bisa kita hanya duduk manis kemudian simsalabim dapat uang segepok.

Meskipun banyak kenyataan yang tak sejalan sengan rencana, tapi saya tidak mau terjebak dalam hidup pengangguran yang bangun pagi tanpa rencana dan tentunya tak punya banyak uang untuk bersenang-senang. 

Meskipun saya menganggur, namun saya harus bisa tetap menghasilkan uang. Saya harus bisa mencari project freelance untuk menunjang kehidupan.

Mengaku tidak pintar, tapi Alhamdulillah gelar Sarjana saya dua dan satu Magister. Saya harus bisa mendapatkan penghasilan dari ilmu yang saya pelajari. Dengan banyaknya waktu yang ada bisa lebih telaten mengerjakan beberapa project freelance berbau akademis yang selama ini saya pikir tidak bisa mengerjakannya. Dan Alhamdulillah hasilnya lebih dari ketika punya pekerjaan tetap.

Selain project freelance berbau akademis, saya gunakan keahlian dan gelar sarjana untuk merintis online shop dengan menggunakan platform e-commerce.  Saya bangun kembali online shop dengan menggunakan platform e-commerce yang baru. 

Saya memang telah mempunyai bisnis online shop, akan tetapi bisnis itu terpaksa berhenti karena deadline pekerjaan yang membuat saya hampir tidak punya waktu untuk mengurus hal-hal yang berbau pribadi. Tidak berhenti disitu saja, selain online shop yang dibangun sendiri, Saya pun dipercaya mengelola online shop yang sedang dirintis oleh teman.

5. Tak terikat waktu 40 jam seminggu senin sampai Sabtu membuat saya lebih loyal pada organisasi yang selama ini hanya numpang nama dan hanya dikenal dari nama.

Tak terikat dengan institusi maupun instansi manapun membuat saya lebih leluasa dalam membawa diri. Saya tidak perlu ijin mencuri-curi waktu jam makan siang untuk menghadiri rapat dengan mengorbankan diri tidak makan siang karena tidak cukup waktu, atau sering izin dari perusahaan ketika didelegasikan oleh organisasi untuk hadir dalam kegiatan-kegiatannya.

Tidak terikat waktu membuat saya lebih sering untuk datang menampakkan diri dan menjadi lebih dikenal. Untuk mendapatkan peluang, pintar saja tidak cukup. Memperbanyak relasi bisa jadi dapat membuka peluang dan kesempatan baru. Atau bahkan bisa masuk ke 'dunia' baru yang selama ini tidak pernah kita bayangkan dapat berada di dalamnya.

***

Melepaskan apa yang sudah lama menjadi tumpuan memang tidak pernah mudah. Rasa takut salah mengambil keputusan selalu saja ada. Namun Saya mempunyai prinsip apa yang telah diputuskan tidak akan pernah saya sesali. 

Saya meyakini bahwa setiap keputusan selalu ada hikmahnya, termasuk keputusan berhenti bekerja. Meski orang lain menilai saya gegabah, hanya diri ini yang benar-benar tahu apa yang terjadi di sana kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun