Tim KKN MIT DR XII Kelompok 38 ikut berpartisipasi dalam proses perawatan kurma di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang ini, mulai dari pemindahan tempat bibit, pengolahan tanah, pemupukan, dan penyiraman rutin setiap pagi dan sore. Penyiraman sendiri ini harus memperhatikan ketentuan air tidak boleh terlalu basah namun juga tidak boleh dibiarkan terlalu kering, tutur Indah Nabila (salah satu Tim Kurmanisasi).Â
Indah menambahi, bahwa pohon kurma jenis Barhee terkenal lebih kuat dalam bertahan hidup di iklim tropis, sedangkan Majol dikenal lebih sulit untuk ditanam di Indonesia. Hal ini pun terlihat sebagaimana halnya di Pondok Pesantren Fadhlul Fadhlan Semarang, bibit kurma jenis Majol ini hanya dapat tumbuh sekitar 20 pohon saja.
Â
Adapun jika dilihat dari hasil akhirnya, buah kurma yang berasal dari Negara aslinya (Arab) menjadi buah yang berbentuk tamr (sudah matang), bertekstur kering, dan dapat dikonsumsi dalam waktu yang panjang. Sedangkan hasil kurma lokal tidak dapat kering sempurna atau masih basah, tetapi tetap tidak mengurangi berbagai manfaat yang baik untuk kesehatan, program kehamilan, dan lain sebagainya.Â
Dari sini Minnatul Fitriyani (Anggota TIM KKN MIT DR XII Kelompok 38) menyimpulkan bahwa perbedaan hasil akhir dari kurma lokal dan kurma dari Negara aslinya terletak pada fase kematangannya.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI