Mohon tunggu...
Min Adadiyah
Min Adadiyah Mohon Tunggu... Ahli Gizi - nakes ahli gizi, pembelajar manajemen abadi

Penata Impian (karena yakin Sang Maha selalu realisasikan impian kita)

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Mekar seperti Matahari - 6

30 April 2023   21:40 Diperbarui: 30 April 2023   22:02 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bawah Bukit Pendem, Temanggung. Beberapa dekade sebelumnya. 

"Tapi Kakek,  kata Mama, aku boleh ikut belajar mengaji di tempat Lyla." rengekku. Kakek, aku menyebut beliau kakek, beliau sebenarnya adalah kakek buyutku, hanya melirikku sekilas. Beliau adalah kakak dari kakek buyutku, tepatnya. Entahlah, rumit sekali nasabku. Aku hampir putus asa menghafalkan jalur nasab yang harus aku pelajari sejak aku kelas 4 SD ini. Lebih aneh lagi, dari semua yang disebut sebagai kakek buyut, nenek buyut, mama, ibu, tante, tak ada satupun yang bule. Aku satu-satunya. Namun aku benar-benar anak dari ibuku yang melahirkanku dan meninggalkanku  saat aku belum begitu mengenalnya. Nampaknya itu, satu-satunya pengikatku bernasab dengan keluarga ini. 

"Kek..." usahaku sekali lagi. Kali ini aku mendapat perhatian. Beliau sejenak melepas kaca matanya. Topi kaji berwarna putih digeser sejenak dan beliau menghadapku. 

"Memangnya Lyla mengaji apa kali ini?" 

"Nggak tahu, kan aku belum pernah ikut, tapi ngaji di serambi masjid itu seru Kek, nggak sepi kayak di mushola Kakek." ujarku. Setelah kupikir-pikir, pernyataanku saat itu benar-benar jahat. Bagaimana mungkin aku minta ijin  untuk mengaji pada orang lain, sedangkan kakekku saja seorang guru ngaji. 

"Ya sudah, kamu boleh ikut ngaji di tempat Lyla, tapi yang sore saja ya. Malamnya, kamu tetap harus ngaji sama Kakek." pinta beliau. Aku mengangguk cerah. Tak peduli apapun syaratnya, aku merasa ijin untuk bersama Lyla adalah sebuah hadiah istimewa. Ramadhan tahun kemarin, hampir seluruh pemenang kejuaraan di desa ini adalah para peserta dari tempat kakeknya Lyla mengajar mengaji. Aku tidak tahu apa saja yang mereka pelajari. Fakta berbicara : juara lomba sholat, juara lomba ngaji, juara lomba cerdas cermat, juara lomba pidato, hampir semuanya dari sana.  

Sejak saat itulah aku paham. Mereka menamai pelajaran mengajinya dengan sebuah nama. Madrasah Ibtidaiyah. Agak mirip suasana nya dengan sekolah dibanding dengan mengaji di mushola kakek. Mereka bahkan duduk di kursi dan menghadap meja seperti halnya sekolahku. 

"Lyla, kalo begitu kamu sekolah dua kali ya? Pagi dan sore kah?" tanyaku setelah Lyla benar-benar membawaku ke tempat mengajinya. Setelah mendapat ijin dari kakeknya, tentu saja. Namun, rupanya di tempat mengaji yang mirip sekolah ini, aku tak pernah menjumpai kakek Lyla. Beliau hanya mengajar saat ba'da maghrib. Hanya cucu dan orang-orang terdekat yang bersama beliau. Lyla salah satunya. Aku tak pernah tahu apa yang diajarkan.  

Lyla mengangguk lucu. Ekor kudanya bergoyang. 

"Jadi, itu sekolah atau mengaji?" tanyaku penasaran. Lyla meringis. 

"Ya, terserah kamu mau nyebutnya apa, tapi kalo yang aku tahu ini namanya ngaji." ujarnya setelah beberapa saat. Aku mengangguk. Aku mungkin akan melihat dulu saja prosesnya. Tetap lanjut jika menyenangkan tapi aku akan berhenti jika aku kesulitan. Masak, sehari sekolah dua kali? Ada-ada saja. 

Nah kalo aku kan berarti nanti 3 kali, sebab selain kelasku di SD, aku kan harus mengikuti homescholingku  yang kadang-kadang ditemani mama dan kadang-kadang sendiri. Dua jam tiap hari, aku harus mendengarkan dan melafalkan berbagai kosa kata dalam bahasa Jerman dan Belanda. Genda menyimakku dari seberang. Itu atau aku tidak boleh keluar untuk sekolah di hari berikutnya. 

Rupanya aku menemukan berbagai keasyikan melalui kelas yang disebut sentra belajar itu. Aku boleh memilih kelas yang mana saja sesuai selera. Hasilnya, Ramadhan berikutnya hampir semua piala berhak kubawa pulang. Minimal runner up. Aku dan Lyla benar-benar beda tipis  dalam hal prestasi. Aku hanya tak pernah tahu apa yang Lyla kaji setiap ba'da maghrib, sama seperti halnya Lyla tak pernah tahu bahwa ada Genda dalam setiap laju hari-hariku. 

Lyla tak pernah tahu bahwa saat kami sama-sama lulus SD, aku pun telah mengantongi sertifikat dua bahasa. Jerman dan Belanda serta memulai dua kelas bahasa berikutnya. Inggris dan Mandarin. Masih bersama orang yang sama, Genda. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun