Cerita Fabel ini dimulai dari seekor kucing kehilangan induknya...
Senja ini adalah waktu paling sibuk di Desa Kucing. Ramai-ramai penduduk desa menyemut di pelataran rumah Tetua. Semua akan dimulai setelah tiga kali tiupan terompet dari dalam rumah Tetua.
Di pelataran itu penduduk berkumpul sesuai dengan rentang usia. Baris paling depan berkumpul para bapak-bapak rumah tangga disusul barisan emak-emak kucing. Kucing remaja dan anak kucing duduk di barisan paling belakang.
Lanin dan Meri duduk di bawah rimbun pohon cabai. Mereka dua kucing kecil yang tidak tahu apa arti pertemuan sore ini.
Mereka hadir lantaran desakan ingin tahu keramaian yang tercipta. Belum sekali pun mereka mengikuti ritual tahunan di pelataran rumah Tetua.
"Lihatlah langit itu seperti permen." Lanin menengok ke langit senja di ufuk barat. Badan putih dengan ekor abu-abu basah tersiram air dari nyonya rumah sebelah.
"Kalau aku punya bulu seperti itu pasti cantik." Dengan lincah Lanin mengeringkan air di badannya dengan bantuan lidah. "Aku suka warna merah jambu."
Meri mengibaskan ekor panjangnya. Seluruh badannya berwana abu. "Tidak mungkin Lanin." Menggaruk sebelah mata. "Tidak ada kucing bewarna merah jambu."
"Bagaimana kamu tahu?" tanya Lanin.
"Lihat." Meri mengedarkan pandangan ke seluruh penduduk yang kini duduk menunggu kemunculan Tetua. "Lihatlah mereka. Oranye. Hitam. Putih. Coklat." Meri berdiri. "Lihat aku. Abu-abu. Tidak ada kucing merah jambu."
Awan berarak bebarengan dengan angin senja yang memainkan bulu-bulu di badan Lanin.
"Ada banyak hal yang kita inginkan tapi tidak bisa terwujud." Meri kembali berkata, "kamu ingin bewarna merah jambu. Itu hanya akan jadi ingin tanpa pernah terwujud."
"Aku tidak tahu apa yang kamu bicarakan. Kenapa keinginan tidak bisa terwujud?"
"Bapakku pernah bilang kalau kita semua pasti punya keinginan. Tapi keinginan itu ada banyak levelnya."
"Level? Seperti apa itu?"
"Keinginan yang bisa terwujud jika mau berusaha. Keinginan yang tidak akan pernah terwujud meski kita sudah berusaha."
Sebelum Meri melanjutkan ucapannya, terdengar tiupan terompet dari dalam rumah Tetua. Tak lama kemudian muncul Cetok si Tetua, kucing paling disegani di Desa Kucing. Cetok punya tubuh kuat dan liat. Warna bulunya hitam belang-belang. Meski hanya punya satu mata, dia adalah kucing paling jago berburu. Paling pandai menumbangkan lawan, itu sebabnya dia diberi jabatan sebagai Tetua. Tidak peduli jika dia masih muda.
Setelah berkeliling menyapa penduduk Desa Kucing, Cetok duduk di singgasana yang terbuat dari tumpukan jerami segar.
"Terima kasih kalian sudah mau berkumpul." Suara Cetok menggelegar  cukup berwibawa. Semua hadirin khidmat  menyimak.
Cara Cetok bicara mampu mengalihkan semua perhatian, bahkan perhatian Lanin pada langit serupa permen. Lanin mendekat, berdempet pada tubuh Meri.
"Ini adalah awal tahun 2021." Cetok melanjutkan ucapannya. "Seperti tahun-tahun sebelumnya, setiap awal tahun kita akan memanjatkan keinginan."
Lanin mengangguk. Keinginan. Itu yang Lanin ingin dengar dari tadi. Penjelasan Meri tidak banyak membantu dan justru membuatnya semakin ruwet.
"Sebagai kucing, ada banyak keinginan kita yang mustahil untuk terkabul. Tapi tidak sedikit keinginan kita yang sangat mudah terkabul." Cetok berdiri, memutari singgasana. "Sebagai Tetua, aku ingatkan agar penduduk kucing tidak perlu kecewa andaikan banyak keinginan tidak tercapai. Tugas utama kita adalah usaha."
"Tetua," tiba-tiba terdengar suara dari bawah pohon cabai. Itu jelas suara Lenin.
"Mungkinkah keinginan saya untuk punya bulu merah jambu akan terwujud?"
Meri melirik. Hadirin memandang kurang sopan ke Lanin. Dalam benar para kucing menganggap kalau tindakan Lanin yang tiba-tiba itu tadi sebuah bentuk ketidaksopanan. Mana ada sejarah rakyat kucing menghentikan ucapan Tetua kucing.
Cetok mencakar kayu di sebelahnya. Hadiran berubah ketakutan. Masing-masing dalam hati menyalahkan Lanin yang sudah sembrono memotong ucapan Tetua.
"Siapa namamu?" Cetok bertanya ke Lanin.
"Namaku Lanin."
Hening. Semua berdoa agar senja tak lekas berganti petaka.
"Haha." Cetok kembali ke singgasana. "Kamu adalah satu-satunya kucing yang berani memotong ucapanku."
"Maafkan saya." Barusan Meri berbisik tentang tingkah Lanin. "Maaf karena saya lancang."
"Tentu tidak." Cetok kembali tertawa. Riang. Sangat bahagia. Membuat hadirin ternganga tidak percaya. Selama ini Cetok dikenal ganas garang tanpa senyum, mendadak di awal tahun 2021 menjadi kucing yang berbeda.
"Tidak ada yang salah dengan pertanyaan kamu atau pun sikapmu. Aku tidak pernah melarang siapa pun bicara. Aku justru butuh teman diskusi untuk memajukan Desa Kucing ini. Aku butuh omongan kalian untuk sama-sama melindungi Desa Kucing ini. Kalau tak ada suara dari mulut kalian, bagaimana bisa seorang Tetua mengambil keputusan?"
Maka sejak saat itu, pertemuan di pelataran rumah Tetua tidak lagi kaku. Semua kucing yang hadir boleh mengutarakan keinginan. Mereka kini saling memberi dan menerima.
Sampai perayaan berakhir, tak terjawab keinginan yang diinginkan Lanin.
Cerita Fabel ini hanyalah fiksi belaka. Jika ada kesamaan nama, tokoh dan peristiwa maka itu bukan sebuah kesengajaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H