Ternyata respon yang saya terima cukup menghentakkan.Â
Baru sekali ini saya kirim barang dan orang yang menerimanya terharu sebab sepanjang hidupnya yang jelang tiga puluh tahun, dia mengaku baru dua kali dapat kado. Salah satunya adalah paket yang saya kirimkan. Ini bukan saya saja yang memberi kejutan tapi juga saya yang menerima kejutan.Â
Di zaman yang begitu canggih dan serba cepat ternyata masih banyak orang yang sepanjang hidupnya minim mendapat hadiah. Bukankah berbagi, memberi, menerima, mengingat dan mendoakan adalah rangkaian yang tak terpisahkan?Â
'Kamu adalah orang kedua yang memberikan hadiah kepada saya,'Â
begitu pesan masuk ke WhatsApp ketika paketan yang saya kirim sampai di tempat tujuan. Pesan itu mengaduk memori  pada sekotak kemplang Palembang yang mendarat manis di halaman rumah bapak. Padahal seumur-umur belum pernah kami order kemplang.
Dari berkirim-kirim kado, saya jadi dekat dengan banyak orang. Meski hanya berkenalan di sosial media dan sekali jumpa, berkat bingkisan-bingkisan itu rasanya jarak yang tadinya jauh mendadak jadi ringkas. Seolah bingkisan itu menjelma bagai gunting yang mampu memotong jarak.
 Keajaiban sebuah kado mengganjar saya dengan sebuah kawan dan keluarga yang sebelumnya tidak saya punya.
Kalau dengan berbagi bisa menghangatkan, kenapa masih ragu? Kalau bahagia bisa hadir dengan memberi, kenapa harus nanti? Kalau ternyata yang saya kirimkan kepadamu hanyalah segenggam biji bunga matahari, percayalah itu satu bentuk kehangatan yang mampu saya bagi untukmu. Kelak dari biji bunga itu akan lahir cerita baru. Semoga darinya kamu juga akan beroleh cerita bahagia yang lain. Tolong jangan biarkan cerita ini berhenti di halaman rumahmu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H