Pada mulanya semua hanyalah angan-angan; sesuatu yang ingin diraih tapi rasa-rasanya agak sulit.
Dua minggu lebih saya menanti acara 'lari-lari' di kawasan Prambanan. Mereka (kawan-kawan) menyebutnya Mandiri Jogja Marathon.Â
Bukan sesuatu yang baru pula bukan sesuatu yang biasa untuk saya. Sudah sering saya mendengar acar seperti ini, baik yang di Jogja mau pun luar kota. Banyak pula kawan (yang anggap saja dekat) tak pernah absen mengikuti acara ini.
Awalnya saya tidak terlalu tertarik atau tidak yakin bisa ikut untuk sekedar melihat keseruan acara marathon kali ini. Untuk ikut jadi peserta agaknya memang bukan target awal saya bahkan sampai tahun depan agak-agaknya mustahil meskin hanya sebatas 5k.Â
Saya bukan orang yang 'mau repot' dengan jadwal latihan yang ketat, bagi saya kalau pingin lari ya udah lari saja enggak usah ditarget. Karena pikiran ini saya tidak lagi diajakin latihan sama kawan yang rajin ikutan marathon.
Apa yang membuat saya akhirnya tertarik untuk sekedar berdiri di garis finish? Tidak lain karena obrolan-obrolan singkat saya dengan calon peserta marathon di sebuah ruang chat.
"Coba kamu ikutan liputan. Acaranya asyik kok. Kamu harus ikut lalu tunggu aku di garis finish. Beri aku semangat di garis finish."
Kurang kerjaan banget, pikir saya. Semakin kurang masuk akal begitu saya tahu ternyata peserta mau pun media atau semua yang ikut terlibat dalam acara diharuskan standby di waktu tahajud, sekitar pukul 02.00 dini hari, ketika pagi sedang bergeliat. Tapi pada akhirnya demi kesepakatan, saya pun ikut menjadi bagian saksi sejarah Mandiri Jogja Marathon 2018
Setiap kali dengar kata Marathon, bayangan saya langsung terbang ke sosok penulis legendaris yang terkenal seantero jagat raya; Haruki Murakami. Semua itu karena beliau sebagai penulis tersohor menceritakan kisah cintanya pada marathon melalui sebuah memoar. Saat itulah saya mulai tertarik untuk setidaknya merasakan semua perasaan para pelari marathon.