Sebagai penganut konsep makan yang tidak lagi sederhana, saya sok-sokan memilih tempat makan; tepatnya memilih harga yang terjangkau dan yang pasti makanannya enak. Harga terjangkau itu seberapa? Ini pertanyaan yang sulit dijawab, sebab tidak jarang saya ditraktir makanan yang menurut saya mahal dan berlebihan namun bagi yang nraktir, itu harga tidak seberapa.
Setiap jalan ke mal, saya selalu tergoda untuk melihat-lihat tempat makan yang entah mengapa terlihat elite dan terkesan mahal. Makanan apa saja yang dijual kalau sudah masuk mal kok jadi beda auranya.
Dari sekian kali pengamatan, saya bisa simpulkan bahwa makanan dari resto-resto di mal-mal kebanyakan berupa makanan cepat saji atau makanan-makanan kekinian yang mengadopsi (dan dikembangkan sedemikian rupa) dari negara tetangga.
Salah? Tidak. Saya tidak menyalahkan. Lha orang bisnis sendiri-sendiri kok main salah-salahkan. Saya cuma sedang membicarakan jajanan mal.
Apa semua kuliner mal demikian (menjajakan makanan kekinian)? Tidak juga. Ada beberapa foodcord dalam mal yang sengaja menjual menu-menu ala ndeso. Tapi sangat jarang yang menjual menu-menu masakan Nusantara. Ada tapi jarang.
Hal inilah yang kadang membuat saya kebingungan jika mengajak teman dari luar kota jalan ke mal dan minta diantar ke tempat makan yang bukan tempat makan cepat saji.
Mencari menu aneka kopi dan makanan cepat saji di dalam mal itu sangat mudah. Tinggal kedipin mata asal punya uang, semua akan tersaji dengan segera.
Namun gimana jika temanmu yang kamu ajak ke mal mendadak minta sup buntut, sate ayam, tongseng dan soto betawi? Belum lagi ditambah minta teh tubruk, wedang uwuh dan jahe jeruk?
Well, alamat bakal kelimpungan tawaf di mal gak nemu-nemu.
Saya kira akan sulit mendapatkan soto betawi dan wedang uwuh di mal, nyatanya minggu lalu saya menemukannya. Tempatnya di mal Hartono Yogyakarta.