Konsep makan yang tak lagi sederhana
Saya bukan seorang yang ribet dalam urusan mencari makan. Boleh dibilang apa saja doyan tanpa ada pantangan. Syaratnya hanyalah halal dan enak. Sesimpel itu konsep makan yang saya anut. Setidaknya hal itu sudah lama saya pegang hingga awal bulan ini seorang kenalan baru sedikit meruntuhkan sekaligus menyadarkan konsep sederhana yang saya anut.
"Saya selalu menghindari jajan di trotoar."
Maksud beliau adalah menghindari janjan yang penjualnya berjualan di atas trotoar. Mendengar itu ada dua hal yang terlintas dalam benak saya. Pertama, kenalan saya ini menganut bahwa jajan di pinggir jalan utamanya di trotoar kurang higienis/ kurang sehat. Kedua, kenalan saya ini tidak mau jajan di trotoar karena dia paham trotoar itu bukan hak para pedagang melainkan hak pengguna jalan.
"Tapi sayangnya ada dua tempat (makan yang jualan di trotoar) yang belum bisa saya tinggalkan. Dua tempat itu makannya enak sekali."
"Kenapa tidak mau jajan di trotoar? Apa karena mereka berjualan di tempat yang salah?" Saya langsung menembak dengan prasangka kedua. Sebab saya paham kenalan saya ini punya prinsip-prinsip dalam hidupnya.
Beliau menatap saya sedikit lama sambil tersenyum. Sebentar kemudian mengangguk.
"Ya. Itulah. Mereka itu berjualan di lahan bukan miliknya. Itu lahan umum, untuk pengguna jalan. Kalau kita terus jajan di sana maka mereka (para penjual di trotoar) tidak akan sadar. Mending jajan di tempat makan resmi. Yang jelas tidak mengganggu fasilitas umu. Dan lagian kalau kita tidak sadar dan tidak mendukung perbuatan yang benar, gimana kedepan nanti?"
Mi dalam mangkok yang saya pesan tidak segera habis. Saya diam mendengar semua ucapan rekan saya tersebut.
Sejak itulah, konsep makan sederhana yang saya punya berangsur-angsur pudar, berganti dengan konsep makan yang tak lagi hanya memikirkan diri sendiri melainkan orang lain. Khalayak umum.
Sebagai penganut konsep makan yang tidak lagi sederhana, saya sok-sokan memilih tempat makan; tepatnya memilih harga yang terjangkau dan yang pasti makanannya enak. Harga terjangkau itu seberapa? Ini pertanyaan yang sulit dijawab, sebab tidak jarang saya ditraktir makanan yang menurut saya mahal dan berlebihan namun bagi yang nraktir, itu harga tidak seberapa.
Setiap jalan ke mal, saya selalu tergoda untuk melihat-lihat tempat makan yang entah mengapa terlihat elite dan terkesan mahal. Makanan apa saja yang dijual kalau sudah masuk mal kok jadi beda auranya.
Dari sekian kali pengamatan, saya bisa simpulkan bahwa makanan dari resto-resto di mal-mal kebanyakan berupa makanan cepat saji atau makanan-makanan kekinian yang mengadopsi (dan dikembangkan sedemikian rupa) dari negara tetangga.
Salah? Tidak. Saya tidak menyalahkan. Lha orang bisnis sendiri-sendiri kok main salah-salahkan. Saya cuma sedang membicarakan jajanan mal.
Apa semua kuliner mal demikian (menjajakan makanan kekinian)? Tidak juga. Ada beberapa foodcord dalam mal yang sengaja menjual menu-menu ala ndeso. Tapi sangat jarang yang menjual menu-menu masakan Nusantara. Ada tapi jarang.
Hal inilah yang kadang membuat saya kebingungan jika mengajak teman dari luar kota jalan ke mal dan minta diantar ke tempat makan yang bukan tempat makan cepat saji.
Mencari menu aneka kopi dan makanan cepat saji di dalam mal itu sangat mudah. Tinggal kedipin mata asal punya uang, semua akan tersaji dengan segera.
Namun gimana jika temanmu yang kamu ajak ke mal mendadak minta sup buntut, sate ayam, tongseng dan soto betawi? Belum lagi ditambah minta teh tubruk, wedang uwuh dan jahe jeruk?
Well, alamat bakal kelimpungan tawaf di mal gak nemu-nemu.
Saya kira akan sulit mendapatkan soto betawi dan wedang uwuh di mal, nyatanya minggu lalu saya menemukannya. Tempatnya di mal Hartono Yogyakarta.
Adalah GM coffee and lounge, tempat nongkrong asyik dalam mal yang menyediakan aneka menu makanan tidak hanya makanan cepat saji tapi juga menu nusantara.
Selama ini saya salah kira. Okey, saya sering lewat depan GM Coffee and lounge, saya kira tempat ini hanya menjual kopi dan aneka kue kue, nyatanya saat masuk ke dalam disodori menu yang aneka rupa segambreng. Mulai dari yang cepat saji sampai yang butuh waktu lama untuk memasaknya. Pula aneka minuman yang ternyata tidak hanya kopi lagi dan kopi lagi. Ya meski namanya "GM coffe and lounge" nyatanya tidak melulu kopi.
Sebelum cerita makananya, saya mau berkabar bahwa di sini tempat kongkow yang asyik bener. Bagi yang suka poto-poto, tempat ini wajib masuk dalam daftar list yang bakal diunggah di instagram. Ruangannya instgramable dengan konsep klasik dengan sentuhan kekinian. (apa maksudnya Min?)
Pokoknya tempatnya itu adem dan teduh. Mau anak-anak sampai orang dewasa, bisa nyaman di sini. Sama dengan menunya; mulai dari anak-anak sampai opa-opa juga akan menemukan pilihannya.
Saya sudah sering minum wedang uwuh; yang konon diambil dari macam-macam bahan alam yang terserak bagai uwuh di pelataran. Uwoh bisa berarti sampah. Tapi bukan berarti minuman itu terbuat dari sampah. Pliss deh. Minumannya justru terbuat dari sari pati tumbuhan alam yang itu tu Indonesia banget. Wedang uwuh tak hanya unik tapi dia menyehatkan dan menghangatkan. Kalau membuat ketagihan, saya tidak tahu.
Saya duduk duduk cantik sambil poto-poto saat pesanan saya yaitu Soto Betawi sedang diracik di dapur. Tolong perlu diingat, memasak masakan nusantara itu tidak mudah pula tidak instan. Harus menunggu sedikit lebih lama dibanding makanan cepat saji. Nah, daripada menunggu dengan jenuh mending saya pepotoan cantik. Saya enggak tahu siapa yang mengkonsep tatanan ruangan GM Coffe and lounge ini. Namun yang pasti, dia pintar karena sudah memperhitungkan segalanya. Biar pengunjung enggak bosan, dibuatlah tempat yang kece habis.
Soto betawi saya tersaji setelah saya puas poto-poto. Uapnya mengepul, tidak tercium aroma memang. Namun kalau didekati, aroma itu akan muncul dengan ganas membangkitkan rasa lapar yang mati-matian saya kuburkan.
Soto betawi dari GM coffee and lounge yang disajikan di hadapan saya cukup memikat dengan mangkuk besar. Sebelum menghabiskannya, saya punya ritual yaitu mencicipi mulai dari kuah. Kuahnya yang tidak terlalu kental jadi tidak lengket cukup membuat lidah saya nyaman dan berharap lekas menghabiskannya sebelum dijamah teman-teman yang lain yang ternyata juga menggilai kuah soto betawi bagian saya.
Potongan daging terlihat apik, berbentuk dadu dan jika dimakan teksturnya lembut. Berarti menandakan tingkat kematangan yang cukup.
Saya tidak paham kuah soto betawi itu terbuat dari apa, yang saya temukan di internet ternyata pakai susu. Namun di GM coffee and lounge saya dibisikin kalau kuahnya dari santan. Wah, bolehkan.
Saya menyukai bumbu-bumbu, jika masakan menggunakan bumbu-bumbu maka nafsu makan akan nambah. Di dalam soto betawi yang saya kuasai ini, saya menemukan aneka rempah di sana. Tidak kuat memang tapi takaran pas. Saya menikmatinya dengan santai.
Karena saya jajan di mal jadi suasananya beda. Hawa-hawa ruangan juga beda dengan rumah makan tenda. Yang pasti kualitas makanan dapat saya percaya dan pula tidak menganggu pengguna jalan yang lain. Saya menikmati santap makan siang dengan damai. Dengan dilayani oleh pramuniaga yang baik-baik dan bersedia ditanya setiap saat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H