"Tak ada yang bisa kamu bantu, ini semua sudah terjadi. Kehancuran tinggal menunggu waktu."
"Kamu tidak boleh bicara yang tidak pernah terjadi. Dan kamu tahu, kehancuran itu belum pernah terjadi. Kalau kamu mengucapkan kehancuran itu sekarang, maka kamu akan melanggar aturan yang telah ada."
Hening. Tubuh Gady semakin lemah saja. Dia benar-benar tak dapat menggerakkan tubuhnnya. Unsur pembentuk tubuhnya adalah unsur kepatuhan pada leluhur. Dan jika kepatuhan itu mulai pudar, maka kekuatan tubuhnya pun melemah dengan sendirinya. Sedang Atlas, walau pun terbentuk dari unsur yang sama namun dia lebih memiliki fisik yang kuat sebab kemampuannya menggambar yang lihai, membuatnya mampu menyedot kekuatan dari obyek-obyek yang sering digambarnya. Matahari, bulan, bintang, awan, hujan, panas, mega dan hijau daun, kekuatan itu mampu dia renggut dari gambar yang dia ciptakan sebelum gambaran itu terbukukan dalam kitab dan disimpannya di tempat khusus.
Sedang Gady. Dia tak bisa mengambil kekuatan dari apa yang dituliskannya, malah dia akan menguras kekuatannya demi menuliskan sesuatu yang terjadi dan itu menyedihkan. Jika yang ditulis adalah hal yang menggembirakan, hanya akan berpengaruh sedikit, sedikit membuatnya makin terlihat muda dan tampan. Selebihnya tak ada kekuatan lain.
"Aku akan menggambar apa yang telah kamu tulis."
"Kau akan menghancurkan semuanya Atlas." Teriak Gady disisa tenaganya.
"Aku tidak menyalahi aturan."
"Jelas-jelas kamu menyalahi aturan yang ada. Menggambarkan hal yang tak pernah terjadi."
"Gady, kamu lupa? Kotak kecil di atas kita." Dia menunjuk ke kotak kecil di atas kepalanya, "dia mengatakan pada kita, kehancuran seperti yang telah kamu tulisankan. Kotak itu bicara sesuai keadaan di luar sana Gady. Dan itu tandanya, aku sudah boleh menggambarkannya."
"Kamu benar. Tapi apa pengaruhnya untuk mencegah kehancuran alam ini?"
"Aku juka tidak tahu."
Gady kembali melemah lagi menyadari semuanya sia-sia. Kalau pun Atlas bisa menggambarkan yang telah terjadi, itu tidak ada pengaruhnya sama sekali. Dan itu tandanya kehancurkan akan benar-benar terjadi. Gady lemah tak berdaya. Tapi tidak dengan Atlas yang kini serasa tubuhnya makin bertenaga. Dia tengah asyik menggambar apa yang baru saja terjadi. Menggambar apa yang telah ditulis Gady dengan tidak sadar di layar. Juga menggambar sesuai dengan apa yang didengarnya dari kotak suara di atasnya.
"Kamu tahu Gady? Aku tak pernah menggambar gerhana bulan. Penguasa rakyat. Kelaparan. Bencana. Tsunami, gempa bumi, gunung meletus. Aku tak pernah menggambarnya sebelumnya. Dan sekarang aku menggambarnya." Ucap Atlas panjang tanpa jeda. Namun sayang ucapan Atlas sama sekali tidak memberikan efek pada tubuh Gady yang telah benar-benar tak berdaya. Seakan kekuatannya tersedot. Menguap bersama hawa panas yang keluar dari tubuh Atlas. Kehangatan memenuhi ruangan.
"Gady, aku telah menyerap kekuatan dari bencana-bencana yang telah terjadi."
"Aku tak peduli."
"Tapi aku mau kamu menuliskan lagi sesuatu, sesuatu tentang tanah di mana kehancuran ini terjadi."
"Kamu bodoh. Atau kamu itu iblis yang memang mengharapkan kehancuran." Gady geram mendengar ucapan Atlas yang memintanya menuliskan tentang tanah di mana kehancuran itu mulai terjadi. Kalau Gady menuliskan itu, dalam pikirannya berarti dia telah melakukan pelanggaran lagi pada aturan nenek moyangnya. Walau secara nyata dia mampu menuliskan diskripsi tanah itu, itu sangat tidak dianjurkan untuk ditulis. Kehancuran akan benar-benar menghampiri.
"Kamu jangan egois. Ini semua untuk kebaikan kita."
"Arrrgg.... Cukup Atlas. Kerjamu hanyalah menggambar, sama sepertiku hanya menulis. Menggambar dan menulis yang telah terjadi bukan yang belum terjadi."
"Oke. Aku paham. Kalau begitu aku akan menggambar sendiri. Asal kamu tahu, aku akan membawa kita ke tanah di mana bencana itu terjadi. Dan kamu tahu, aku adalah Atlas. Si pemilik semua gambar."
"Maksudmu?"
"Tanah itu telah lama terbentuk. Itu berarti tanah itu telah lama ada dalam kitab-kitab gambarku. Aku akan mengajakmu ke sana. Dan akan memaksamu menulis di tanah itu."
Atlas meninggalkan Gady yang tengah berpikir keras membaca rencana Atlas. Tak ada yang mampu dia tangkap kecuali sebuah kehancuran. Mendatangi suatu daerah tanpa izin itu adalah hal yang terlarang. Apa lagi menulis di kawasan yang bukan hak kuasanya.
Sementara itu. Atlas bergelut dengan pikirannya sendiri, antara menyelamatkan sebuah alam juga antara sebuah kegagalan sebab bila  rencananya gagal, kehancuran dalam sekian detik akan menggulung mereka.
"Dapat...." Ucap Atlas sumringah sembari membawa sebuah kitab tebal bewarna hijau zamrud ke arah Gady. Lalu memutar-mutar layar ke tanggal yang telah lampau. Setiap tulisan di layar itu akan ada tanggal yang menandai kapan tulisan itu ditulis.
"Apa maksudnya?"
"Kita akan ke tanah sesuai gambar dalam kitab ini." Atlas memperlihatkan sebuah gambaran planet, bumi tertulis di sana. Dan sebuah tanah yang berpulau-pulau, secara terbata dapat terbaca pulau itu adalah In-do-ne-sia. Tujuan mereka adalah tanah Indonesia.
"Dan kau lihat di layar itu." Kini telunjuk Atlas menujuk ke tulisan masa silam yang bertuliskan, "dan keturunanku akan mendatangi sebuah tanah di pulau lain untuk menciptakan sebuah...."
"Kamu tahu Gady. Itu telah tertulis lama. Dan kita bisa mengulang. Kita akan ke sana."
"Tunggu."
"Apa lagi? Bukankah udah jelas?"
"Kalimat terakhir, menciptakan sebuah.... Sebuah apakah?"
"Sebuah kedamain dan bersiaplah." Tanpa memedulikan sahabatnya, Atlas menarik begitu saja tubuh Gady dan keduanya masuk ke dalam sebuah lorong yang ada dalam sebuah kitab. Konon lorong dalam kitab itu akan menuju ke tanah sesuai dengan tanah yang tengah di bahas dalam kitab tersebut. Dan lorong yang Atlas pilih adalah dari kitab gambar planet bumi, dan tujuan utamanya adalah Indonesia.
Sembilan, sepuluh, sebelas, dua belas detik perjalanan mereka dalam lorong itu akhirnya berhenti. Tubuh keduanya mendarat dengan mulus di atas tumpukan debu-debu yang berasal dari sebuah pucuk gunung yang kini berdiri menantang di hadapannya.
Mendarat dengan posisi tidak menguntungkan, yaitu tersungkur membuat hidung Atlas sedikit bengkok. Sedang Gady dalam posisi yang aman. Dia bangkit. Energinya seakan pulih di tempat itu.
"Di mana kita Atlas?"
bersambung...
Tiupan Mimpi (Bagian 1)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H