Kadang kala saya malu jika kedapatan tersesat di daerah yang notabene adalah rumah sendiri. Apalagi tersesatnya tidak hanya sekali, dua kali namun sering. Seperti minggu lalu, saya harus menerima ledekan dari teman-teman lantaran datang terlambat karena alasan tersesat.
"Maaf lagi datang. Aku tadi tersesat jauh."
"Lagi?"
"Lebih jauh dari kemarin."
"Pasti sengaja. Kamu bareng cowokkan?"
"Iya. Bareng Monyoku."
"Pantes. Udah fix kamu pasti sengaja tersesat biar perjalanan jauh."
"Aku enggak seniat itu."
Saya tiba di bibir pantai tepat ketika senja perlahan pulang digantikan petang.
Teman-teman potografer sudah nangkring manis di batu-batu karang demi mengabadikan senja di Pantai Wediombo. Debur ombak tipis menambah kesyahduan petang itu. Langit berangsur menggelap setelah sebelumnya penuh watna oranye ungu dan kemerahan.
Dari pasir putih kaki ini beralih menginjak karang, petang itu laut sedang surut, sebagian isi laut bisa terlihat jelas dan jika mau bisa saja disentuh dengan lembut.
Di belakang saya, sejauh lemparan kerikil, ada teman-teman lain yang sibuk mendirikan tenda tempat kami akan menghabiskan malam. Tenda itu secara sengaja saya sebut sebagai hotel berbintang seribu. Begitu malam tiba bisa menyaksikan perpaduan air laut, bintang dan rembulan di depan tenda. Aroma garam tercium dari segala penjuru.
Tentang rencana-rencana selama di Wediombo
Belum tengah malam ketika kami masing-masing memilih balik ke peraduan yang sudah dipesan sebelumnya. Sebelumnya kami duduk melingkar sembari mendengarkan cerita dari teman-teman WOSS (Wediombo Surf Society) tentang kegiatan surfing mereka. sebenarnya tujuan utama datang ke Wediombo adalah untuk mengenal dan bermain surfing langsung dengan ahlinya. Itu rencana awalnya, eh ternyata tetep ditebengi rencana-rencana lain (mungkin juga rencana nyari gebetan baru).
"Pagi besok setelah subuh kita siap-siap berburu sunrise di pantai Junwok." Begitu instruksi yang saya dengar sebelum benar-benar memejamkan mata.
Pikiran saya sudah jauh ke perjalanan yang tidak mudah. Beberapa kali ke Junwok (yang jaraknya sekitar satu kilo dari Wediombo) saya harus jalan kaki karena kelemahan saya yang susah menaklukan medan.
Maka saya putuskan saja jika esok tidak akan ikut berburu sunrise. Saya akan diam di tenda dan tidur sampai matahari benar-benar membakar kulit.
Itu yang saya inginkan, nyatanya begitu pagi tiba, bahkan sebelum matahari mengintip dari celah bukit, saya sudah duduk maanis di bawah batu karang Junwok sambil tersenyum lebar menatap lensa kamera. Tuhan, ternyata saya memang mudah tergoda. Jadi saya yang niatnya enggak mau repot pindah pantai, justru paling semangat (maklum adanya tebengan membuat semuanya tampak mudah dan nagih).
Pantai selalu menawarkan kemagisan. Keanggunan yang alami dengan komposisi yang sulit untuk ditandingi. Pasir putih selalu menjadi hal pertama yang wajib disentuh jika sudah mendekam di pantai. Yang kedua dan wajib adalah riak air yang dibawa ombak dari tengah laut. Sebuah magnet yang sulit untuk dihindari.
Siang itu Wediombo berhasil membuat saya merasakan sensasi yang berbeda dari kunjungan  sebelumnya. Bukan karena  sempat nyasar, bukan pula karena teman-teman baru yang mengelilingi namun karena pada hari itu untuk pertama kalinya saya bisa mencicipi yang namanya surfing. Di atas papan surfing saya bisa bersahabat dengan ombak.
Saya tidak bisa berenang, serius. Kadangkala takut pada ombok namun juga sangat ingin memeluknya.
Untung ada mas-mas dari WOSS, Wediombo Surf Society yang dengan (terpaksa) senang hati membantu saya menaiki ombak.
Ada yang tanya apa atau siapa itu WOSS?
Okey ini saatnya saya untuk bercerita sedikit, kalau mau panjang ya mending datang dan wawancara sendiri; jangan lupa ajak saya.
Jadi WOSS itu adalah semacam komunitas surfing yang ada di Wediombo. Ada beberapa anggota yang kebanyakan adalah pemuda sekitar pantai. Siapa aja konon bisa bergabung dengan WOSS. Kalau setahu saya sih anggotanya beragam profesi dan usia, mulai dari belasan tahun. Waktu itu sempat lihat adik-adik usia SD naik papan surfing dan menunggangi ombak. Cool.
Percaya atau enggak, meski terbilang dekat (ya anggap satu jam perjalanan itu lebih dekat dibanding jarak kamu dan mantan) saya ini enggak tahu apa-apa tentang WOSS. Jangankan WOSS, tahu aktifitas surfing di Wediombo aja Cuma sekiprit. Pernah sih tahun-tahun sebelumnya datang lihat ada papan-papan surfing tapi enggak paham jika itu salah satu kelebihan Wediombo dibanding pantai lain. Saya enggak tahu kalau bisa belajar surfing di Wediombo. Ya bayangan saya selama ini tempat surfing ya adanya di Bali atau luar negeri. #duhdek kamu emang kurang piknik.
Padahal ni ya, WOSS ini sudah berdiri sejak tahun 2014. Sejak tiga tahun yang lalu mereka melakukan aktivitas menyenangkan bersama laut. Mereka adalah sahabat Wediombo yang selalu memberi nafas baru.
Jadi gini, misal kalian ngebet banget pingin belajar surfing namun masih galau karena enggak tahu haru ke mana, mending ya ke Wediombo saja. Saya bisa bilang demikian karena saya udah nyoba, ya meski agak-agak kurang sukses sebab ilmu menaklukan air yang saya kantongi ternyata zonk (baca: enggak bisa berenang). Memang berenang itu menjadi kunci utama yang harus dikantongi. Surfing kegiatan yang menyenangkan namun bukan berarti enggak bebas resiko. Tetap ada resiko. Dan meski sudah ada pelatihnya tetep harus punya landasan dasar. Enggak mungkin bergantung sepenuhnya sama pelatih.
Bayar nggak?
Ini pertanyaan atau apa ya? Sekalian deh biar postingan ini sedikit memberi gambaran nyata. Jadi selain harus konfirmasi dulu, kita juga diwajibkan bayar 150 rupiah untuk satu jam main surfing. Seratus lima puluh ribu rupiah itu sudah termasuk biaya pelatih, sewa papan surfing dan jasa keamanan (belum ongkos retribusi yang sepuluh ribu).
Jika ada yang tanya apakah surfing di Wediombo beneran menyakinkan?
Saya bisa jawab apa ya selain bilang bahwa setelah sekian tahun berlayar di atas ombak, tahun 2017 ini Wediombo masuk dalam Anugerah Pesona Indoneis kategori 'tempat surfing terpupuler'.
Nah lho, sekali lagi 'tempat surfing terpopuler' Anugerap Pesona Indonesia (API). Masih kurang meyakinkan gimana? Kaki boleh berdiri sendiri, tapi kebanggaan Wediombo tetap untuk semua pihak.
Hayuk surfing ke Wediombo. Jangan lupa, siapkan fisik dan mental dengan cermat. Biar pikniknya enggak pakai panik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H