@cerita.kecil hanyalah salah satu contoh. Banyak kawan lain yang juga terlibat dalam proyek besar semua bermula dari goresan pensil warna. Guru Seni Rupa saya sewaktu SMA juga berhasil go-international gara-gara goresan warna yang diciptakannya dalam tembok-tembok kota.
Saya selalu kagum dengan mereka yang dengan santai bisa merubah tembok kusam menjadi satu bidang penuh cerita.
Seperti penulis yang menikmati hasil dari bercerita. Pelukis pun demikian. Tidak sedikit orang yang menghidupi hidupnya dengan jalan menggambar. Menggambar apa saja. Warna apa saja.
Menggambar tidak melulu di atas kanvas atau kertas. Bagi seorang yang sudah hidup denga menggambar, mereka bisa melakukan di mana yang ia inginkan. Di tembok sebagai mural. Atau di mangkuk, cangkir bahkan cermin. Tidak sedikit juga yang mengusapkan warna ke dalam kain. Melukis dengan bebas.
Seorang guru SD akan menggambar di papan tulis sebagai salah satu bentuk metode mengajar.Â
Bayangkan jika pada suatu hari warna-warna dilarang beredar. Apa yang akan terjadi?
Bayangkan jika suatu hari orang tidak boleh berimajinasi sebebas-bebasnya. Apa yang akan kita lihat di tembok, di layar televisi atau di dalam buku-buku.
Jika hari ini saya memarahi si adik kecil karena telah mewarnai kura-kura dengan warna ungu, entah apa yang akan terjadi dengan anak itu kelak. Saya sendiri tidak pernah keberatan jika ada gambar anak ayam bertanduk atau tikus bersayap. Sampai kapan pun saya akan menerimanya sebagai sebuah cerita. Bukankah film sekelas avatar juga dibangun dengan imajinasi bebas penuh warna? Andai diharamkan mewarnai gambar tubuh manusia dengan warna biru, maka mungkin kita tidak akan mengenal avatar.
Dan saya masih terus memupuk harapan agar mimpi saya segera berbuah nyata; sebuah buku karya saya dengan ilustrasi cantik di dalamnya. Hitam putih pun adalah warna.