“Lalu, saya harus menanggapi seperti apa?” jawabku sambil menyedot minumanku dengan selang yang barusan aku ambil di sebelah kasir.
“Bukankah, Dokter mencintainya? Kenapa harus keberatan?”
Dia menaikan bahunya, “entahlah”. Aku menggaruk kepalaku.
“Kamu masih sama,” ucapnya tiba-tiba.
“Hah?” aku menaikan alisku.
“Childish,” ucapnya.
“Dokter juga masih sama selalu mengatakan itu…” dia tertawa menanggapi ucapanku yang bernada sedikit kesal.
“…tapi aku menyukainya.” Aku melongo mendengarnya.
“Kenapa kamu tidak memberikan tanggapan tentang hubunganku dengan kekasihku, atau paling tidak kamu menanyakan hubungan kami.”
Dia meraih lenganku lalu menyeretku duduk di bangku yang tersedia di 7-11. Aku pun menurut sambil memakan makanan yang kubeli barusan,lapar. Seharian aku belum makan dan lagi pula dulu dia sudah sering melihat aku makan. Bahkan dia pertama kali melihatku saat aku sedang tertidur.
“Memang perlu?” tanyaku sambil menusuk sebuah tomat kecil berwarna merah lalu kumasukan kedalam mulut. “Dokter, saya tidak tahu apa-apa tentang hubungan kalian, dan saya rasa. saya tidak perlu tahu. Kerena saya tidak mengenal pacar Dokter sama sekali. Lagi pula wajar seandainya dia menghawatirkan, Dokter .itu sebagian wujud dari rasa sayangnya.”