Tak kuhiraukan lagi panggilan Mas Gagah. Aku meninggalkan mereka berdua dengan perasaan terluka. Kususuri ruang terbuka itu. Menyelinap di antara sela tenda-tenda yang terpajang rapi. Menyelinap di antara orang-orang sibuk.
"Rumi. Rumi..." Mas Gagah terus saja memanggilku. Ia mengejarku tanpa henti. Ada rasa penyesalan dari getar suaranya.
"Biar kujelaskan." Mas Gagah berhasil menghentikan langkahku.
"Tidak perlu."
"Kau butuh itu."
"Aku tidak membutuhkannya."
Pegangan tangannya erat berusaha meraih tubuhku.
"Lepaskan aku. Plak." Tamparan telak menghantamnya. Aku terperanjat. Apa yang kulakukan. Aku tak percaya dengan apa yang kulakukan.Â
Kakiku selangkah ke belakang. Merasakan sakit. Lebih sakit dari apa yang kulakukan padanya. Kubiarkan Mas Gagah tercengang. Sementara aku meninggalkannya sendiri.
"Rumi."
Aku sudah tak mempedulikannya lagi. Namun masih kudengar, ia memanggil-manggil namaku.
Hingga di suatu persimpangan dia tidak menyadari bahwa ada seorang pelayan membawa nampan berisi penganan. Ia tidak bisa mengelaknya. Pelayan itu menabraknya. Mas Gagah jatuh terhempas. Tubuhnya dipenuhi noda makanan.Â
Si pelayan berulang kali meminta maaf setelah mengetahui bahwa orang yang ditabraknya itu adalah pelanggan baiknya. Aku yakin Mas Gagah sudah menyerah.Â
#
Di tepi pantai itu aku berdiri sendiri. Memandangi lalu lalang kendaraan juga kapal-kapal laut yang berlabuh, datang dan pergi.
Aku menikmati ramainya hiruk pikuk para penghuni pelabuhan. Tidak seperti ketika itu. Satu dua kapal saja yang berlabuh. Itu pun penumpangnya tidak banyak. Hanya pegawai di pelabuhan itu yang sibuk.
Kusandingkan dengan suara debur ombak. Ombak-ombak yang saling berkejaran. Burung-burung riang beterbangan. Juga desir angin di musim kemarau.Â
Sebentar lagi matahari akan tenggelam.
Iseng kakiku menghempas kaleng kosong.
Pletak!
"Hei."
Aku terlonjak kaget. Lagi-lagi. Seorang bapak-bapak menghampiriku.
"Elu?!"Â
Aku terperanjat setelah tahu siapa yang menghampiriku. Alangkah terkejutnya lagi, setelah kami saling bertatap muka. Matanya melebar.Â
"Lu lagi, Lu lagi!"
"Eh, iye Ncang. Aye lagi." Aku nyengir tak berdaya.
"Lu emang kagak punya pikiran ye. Baru kemarin lusa Lu, gue damprat. Sekarang, Lu bikin ulah lagi. Emang dasar Lu pembawa sial." Dia mengumpatku habis-habisan.
"Maaf, Ncang, aye salah."Â
"Sejak kemarin Lu emang salah mulu. Kagak ada benernya." Dia mendekatiku. "Jangan-jangan Lu sarap ye. Kagak tahu sikon?" Paman itu memperhatikanku dengan seksama. Dia penasaran. Terdiam sejenak. "Eh, ngomong-ngomong, Lu ngapain di sini sendiri? Lu mau bunuh diri? Patah hati ye?" Pertanyaannya membuatku kesal. Hah. Siapa yang mau bunuh diri?
Paman ini. Ingin tahu saja urusan orang. Aku terdiam lama. Tidak menggubris pertanyaannya.
"Denger ye. Orang hidup itu hanya berdasar dua pilihan. Hidup atau mati. Baik atau buruk. Lu pilih satu. Masing-masing ada konsekuensinya."Â
Bibirku tersenyum.Â
"Tumben, Ncang, ini." Aku memberikan tanggapan ala kadarnya.
"Gini-gini, meski kagak lulus SMEA, untuk hal ini, Lu tanya gue dah." Dengan percaya diri paman ini menawarkan bantuan.
"Makasih, Ncang."
Paman ini ternyata berhati baik. Semua kata-kata yang keluar dari bibirnya adalah nasehat. Meskipun terkadang aku harus bekerja keras. Mengernyitkan dahi untuk beberapa saat demi memahami isi pesan yang disampaikannya. Tidak jarang juga aku gagal paham mengartikannya.Â
Aku menyukai paman ini. Selain kocak, logat betawinya sangat kental. Aku pun ikut dalam alurnya. Sejak perjumpaanku tempo itu. Meskipun kesalnya sampai ke ubun-ubun, aku menghormatinya.Â
#
Jam di dinding menunjukkan angka pukul setengah delapan. Aku membuka pintu gerbang kost-kost-an.
Di teras rumah.
"Rumi. Kau sudah pulang? Aku meneleponmu berkali-kali. Tidak ada jawaban."
Aku terperanjat. Tidak sempat kuhindari, Mas Gagah menghalangi jalanku.
"Jangan tinggalkan masalah ini, Rum. Mari kita selesaikan. Kau perlu penjelasanku."
Aku tidak bisa menahan diri. Air mataku tumpah.Â
Malam itu aku mendengarkan semua penjelasan darinya. Semua tentang Nia. Tentang masa lalunya saat bersamanya. Tentang perpisahan dirinya dengannya. Tentang peristiwa tadi sore.Â
Aku tidak tahu lagi. Apakah aku harus percaya atau tidak.
"Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu yang penting, Rum. Namun kuurungkan. Kau masih ingat?" Mas Gagah berusaha menyadarkan ingatanku. Dia membelai rambutku. "Kau tidak usah meragukan ketulusanku. Aku benar-benar mencintaimu. Tolong buang jauh-jauh perasaan amarahmu."
Kali ini air mataku menetes jauh lebih berderai. Bahagia.
"Lalu apa yang ingin kau katakan tadi, Mas?" Aku tidak sabar menunggu pernyataan darinya.
"Ah sudahlah, sepertinya dindaku ini berkurang rasa sedihnya. Jadi aku pending besok saja."
Aku tersenyum malu sekali padanya. Aku menebak-nebak. Kejutan apa yang akan dia berikan kepadaku.
7 September 2019
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H