Sore kemarin aku menyusuri jalanan itu. Sendiri. Melangkah gontai di pinggiran dermaga. Melewati ilalang yang tumbuh liar. Jauh dari pelabuhan. Tak ada lagi suara lenguh peluit kapal-kapal yang bersandar. Sepi. Kecuali gaduh suara burung-burung laut.
Hati ini benar-benar kacau. Menggebalau.Â
Perjalananku pun ketika itu menjadi tak terarah. Sampai kepada jalanan setapak itu. Kering dan berdebu.Â
Kakiku sesekali menendang bebatuan kecil. Kerikil yang tak bersalah kuhempas entah.Â
Menyebalkan! Gerutuku.Â
"Aw aw... "
Ada suara berteriak.Â
"Gila ye. Lu kagak lihat orang lagi nyantai. Kepala gue, Lu lempar!"
Aku menoleh. Merasa jika kakiku inilah yang jadi biang keladi. Astaghfirullah!
"Ma... maaf, Ncang, aye kagak sengaja." Aku gelagapanÂ
"Kagak sengaja gimane. Lu kagak buta kan?! Lihat. Lihat!" Tangannya memberikan tanda 'dada.Â
"Suwer, Ncang, aye kagak sengaja. Demi Allah. Maaf."
"Maap ... maap, emang ini jalan milik nenek moyang, Lu. Makanya kalo jalan ntu ye lihatnya pake mata. Jangan pake jidat. Lagian Lu ngapain berdiri di sono. Apa Lu kagak bisa minggiran dikit. Lu mau mati? Dasar jenong."
"Eh, Ncang ini pake ngatur-ngatur aye. Lagian jalanan sepi begini. Kok jadi marah-marah. Ncang jangan bawa-bawa nama jidat dong. Gini-gini yang bikin bukan aye... " emosiku mulai terpancing. Apa-apaan Ncang ini. Bawa-bawa jidat segala. Siapa yang jenong?Â
Tanganku mulai meraba-raba jidat yang sudah jadi bahan ledekan paman itu. Eh, baru nyadar...
Menyebalkan sekali paman ini.Â
"Udah sono pergi. Jidat Lu elus-elus. Kagak ngaru... kepala gue kliyengan. Lu emang kagak punya sopan santun sama orang tua."
Hah. Dengusku. Kulirik saja dia. Bukankah tadi aku sudah meminta maaf? Kalau ga dimaafin?! Yaudah. End.Â
Aku tak memperdulikan paman ini. Biarin saja dia berbicara sesuka hatinya. Apa peduliku? Aku sudah klarifikasi. Sudah meminta maaf. Selesai.Â
Aku segera meninggalkannya sendiri. Kulirik sekali lagi kepala pitaknya itu. Tangannya mengelus-elus bagian kepala yang terkena lemparan batu tadi.Â
"Dasar stres. Ngeluyur pergi dia. Anak muda sekarang emang kagak tahu aturan."Â
Aku mendengar ocehannya, meski samar-samar.
Sore itu aku memang ketiban sial. Entahlah. Sejak aku mengetahui bahwa Mas Gagah masih memikirkan Nia. Nia dan Nia. Siapa sih dia. Aku dibakar cemburu. Ada saja yang menimpa diriku.Â
Ketika kubuka pintu gerbang Nanda, suwer tidak ada suara-suara binatang. Namun setelah aku memasuki halamannya yang luas...Â
Guk guk guk... !
Dua anjing sekaligus. Menyalak galak seperti ibu dari ibunya ibuku mengejarku. Mbah buyut. Sukanya mengangkat tongkat jika lagi marah-marah.
"Heeii... awasss yaa... gue geplak kaki ente. Macam-macam sama nini-nini." Gitu. Suaranya bergetar alay. Ala nenek-nenek tua.
Sontak aku kaget. Ketakutan setengah hidup. Otakku tak mampu berpikir panjang, kecuali berteriak....
"Nandaa! Nandaaaa!! Toloong...."
Seisi rumah otomatis mendengar teriakanku. Enci, bibi Nanda. Tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia berusaha menenangkan anjingnya itu.
"Ssst... Roma... hayoh masuk... masuk. Roma... Roma. Meong." Suara Enci setengah berteriak. Setengahnya lagi terdengar lirih. Tangan Enci disodor-sodorkan ke arah kepala anjing yang bernama Roma dan Meong.Â
Aku yang melihat drama tidak lucu itu, terpana. Padahal korbannya aku. Memanggil namanya dengan sebutan Roma. Satunya lagi, anjing yang berwarna coklat kehitaman bernama Meong. Hah, ada-ada saja. Dan konyol.Â
Sementara aku yang menempel di pagar besi rumah Nanda, tidak tahu bagaimana rupa dan nasibku. Mirip tokek atau cicak. Erat sekali memeluk dinding gerbang.Â
Aku masih merasa syok. Lemas lutut ini.
"Rum. Udah sini. Turun."
Ya Tuhan. Trauma rasanya. Aku tidak menyangka bisa berhadapan dengan anjing itu. Masih sangat jelas terpampang di mataku. Moncongnya, tatapan matanya yang garang, taringnya yang runcing, suara kasarnya, bikin nyaliku menciut.Â
Aku perlahan menginjakkan kaki ke tanah. Satu-satu bergantian kakiku melompat.
"Kau bilang anjing poodle Nda. Kenapa yang nyamperin nenek moyanganya? Yang jelas dong. Kemarin kau bilang aman-aman saja main ke rumah bibimu. Hampir saja aku mati berdiri." Aku merasa dipecundangi.Â
"Makanya, telingamu itu jangan kau ganti dengan gantungan baju. Begini kan jadinya?!"
Ternyata aku yang salah dengar. Anjing poodle miliknya ada di rumah kampung halamannya.Â
#
Memang ketika itu kesadaranku ambyar. Setelah Mbak Cicha bilang kalau Mas Gagah itu pernah mencintai Nia. Dan sampai sekarang. Mungkin.
Aku tidak yakin dengan semua yang disampaikannya. Mbak Cicha terlalu berlebihan berprasangka. Tidak mungkin Mas Gagah akan menghianatiku. Bukankah selama ini dia penuh memperhatikanku? Meskipun hanya sebatas pacarnya saja. Tapi dia berjanji akan menjagaku sampai hari itu tiba. Dia akan berkunjung ke rumah. Untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Dia akan melamarku. Entah kapan.
Walaupun itu hanya sekedar ucapan. Aku percaya kepadanya. Aku percaya dengan semua tentangnya. Tentang cerita-cerita sedihnya, tentang cerita-cerita konyolnya. Tentang kemarahannya, kasih sayangnya. Dia sosok pria yang aku idam-idamkan.Â
Namun, kemarin, aku sempat dibuatnya nyeri. Hatiku bagai tercabik-cabik. Nanda juga mengatakan hal yang serupa. Seperti halnya Mbak Cicha, bahwa dia pernah memergoki Mas Gagah sedang berduaan dengan Nia di sebuah cafe depan kantornya bekerja. Nia bahkan berani menggenggam tangan Mas Gagah.Â
Aku tidak percaya. Aku tidak percaya...
Lalu, apa arti semua ini? Bunga, janji-janji manis, kesetiaan? Ah.
Berlanjut.
Ncang = paman (Bahasa Betawi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H