Sore itu aku memang ketiban sial. Entahlah. Sejak aku mengetahui bahwa Mas Gagah masih memikirkan Nia. Nia dan Nia. Siapa sih dia. Aku dibakar cemburu. Ada saja yang menimpa diriku.Â
Ketika kubuka pintu gerbang Nanda, suwer tidak ada suara-suara binatang. Namun setelah aku memasuki halamannya yang luas...Â
Guk guk guk... !
Dua anjing sekaligus. Menyalak galak seperti ibu dari ibunya ibuku mengejarku. Mbah buyut. Sukanya mengangkat tongkat jika lagi marah-marah.
"Heeii... awasss yaa... gue geplak kaki ente. Macam-macam sama nini-nini." Gitu. Suaranya bergetar alay. Ala nenek-nenek tua.
Sontak aku kaget. Ketakutan setengah hidup. Otakku tak mampu berpikir panjang, kecuali berteriak....
"Nandaa! Nandaaaa!! Toloong...."
Seisi rumah otomatis mendengar teriakanku. Enci, bibi Nanda. Tergopoh-gopoh menghampiriku. Dia berusaha menenangkan anjingnya itu.
"Ssst... Roma... hayoh masuk... masuk. Roma... Roma. Meong." Suara Enci setengah berteriak. Setengahnya lagi terdengar lirih. Tangan Enci disodor-sodorkan ke arah kepala anjing yang bernama Roma dan Meong.Â
Aku yang melihat drama tidak lucu itu, terpana. Padahal korbannya aku. Memanggil namanya dengan sebutan Roma. Satunya lagi, anjing yang berwarna coklat kehitaman bernama Meong. Hah, ada-ada saja. Dan konyol.Â
Sementara aku yang menempel di pagar besi rumah Nanda, tidak tahu bagaimana rupa dan nasibku. Mirip tokek atau cicak. Erat sekali memeluk dinding gerbang.Â