Aku masih merasa syok. Lemas lutut ini.
"Rum. Udah sini. Turun."
Ya Tuhan. Trauma rasanya. Aku tidak menyangka bisa berhadapan dengan anjing itu. Masih sangat jelas terpampang di mataku. Moncongnya, tatapan matanya yang garang, taringnya yang runcing, suara kasarnya, bikin nyaliku menciut.Â
Aku perlahan menginjakkan kaki ke tanah. Satu-satu bergantian kakiku melompat.
"Kau bilang anjing poodle Nda. Kenapa yang nyamperin nenek moyanganya? Yang jelas dong. Kemarin kau bilang aman-aman saja main ke rumah bibimu. Hampir saja aku mati berdiri." Aku merasa dipecundangi.Â
"Makanya, telingamu itu jangan kau ganti dengan gantungan baju. Begini kan jadinya?!"
Ternyata aku yang salah dengar. Anjing poodle miliknya ada di rumah kampung halamannya.Â
#
Memang ketika itu kesadaranku ambyar. Setelah Mbak Cicha bilang kalau Mas Gagah itu pernah mencintai Nia. Dan sampai sekarang. Mungkin.
Aku tidak yakin dengan semua yang disampaikannya. Mbak Cicha terlalu berlebihan berprasangka. Tidak mungkin Mas Gagah akan menghianatiku. Bukankah selama ini dia penuh memperhatikanku? Meskipun hanya sebatas pacarnya saja. Tapi dia berjanji akan menjagaku sampai hari itu tiba. Dia akan berkunjung ke rumah. Untuk bertemu dengan kedua orang tuaku. Dia akan melamarku. Entah kapan.
Walaupun itu hanya sekedar ucapan. Aku percaya kepadanya. Aku percaya dengan semua tentangnya. Tentang cerita-cerita sedihnya, tentang cerita-cerita konyolnya. Tentang kemarahannya, kasih sayangnya. Dia sosok pria yang aku idam-idamkan.Â