Pagi itu Mia duduk tenang. Bersama sederetan jemaat lainnya dia duduk di bangku barisan nomer tiga dari depan. Mia memakai dress panjang model A setengah kaki. Dengan motif bunga-bunga mungil, ia tampak anggun bersama lilitan syal yang melingkar di lehernya. Â Disatukan kedua tangannya dalam setumpuk genggaman. Hatinya berdoa. Dengan penuh khidmat dipejamkan matanya.Â
Seisi ruangan yang dipenuhi para jemaat satu-satu pergi meninggalkan tempat ibadah. Dengan membawa ketenangan serta kedamaian hati, mereka berbahagia ada di tempat mulia itu. Tak ada resah di wajahnya. Tak ada keluh kesah terpancar dari rupanya. Tak ada amarah, benci, dendam, hasad, terbersit dari rona mereka. Hanya damai dan penuh cinta kasih yang ada. Mereka keluar dari rumah mulia itu dengan keadaan penuh cahaya.
Ada juga anak-anak sedang berbahagia. Ceria bersama orang-orang terdekatnya, berjalan berdampingan. Ada pula yang hambur lari saling berkejaran. Para sanak saudaranya mau tidak mau ikut berlarian. Bukan untuk mengikuti permainan mereka, namun mencegah agar rumah ibadah tetap dalam situasi syahdu. Tidak gaduh.Â
Namun... anak-anak tetaplah anak-anak. Sulit meredam keakuannya. Akan tetapi selalu ada cara terbaik menyelesaikannya.
Sampai kepada seorang gadis kecil. Ia memiliki lesung pipi di kanannya. Tersenyum kepada Mia dari kejauhan dan terlihat berbahagia. Rambutnya yang  ikal diikat ekor kuda berlarian ke sana kemari. Ikatan rambutnya berlompatan. Gadis kecil itu memakai pita merah jambu. Lari kecil menghampiri Mia.Â
Diantara lalu lalang orang-orang yang sedang beranjak dari tempat duduknya. Gadis kecil itu berupaya menghindari banyak kaki-kaki tinggi, tubuh-tubuh tegak para manusia dewasa.
Sementara Mia tertegun merasakan pemandangan yang sedang berlangsung. Gadis kecil berwajah malankolis menghipnotisnya. Gadis kecil itu mampu menarik perhatiannya. Dia mengajak Mia berkenalan.Â
"Kakak..."
"Iya adik kecil."
"Siapa nama Kakak?"
Mia tersenyum memandang adik kecil berpita merah jambu.