"Bukan ga ada yang mendekat. Tapi Mia masih ingin sendiri."
"Oalaaah, sampai kapan tho nduuk ... nduk. Lihat mas-mu. Dah punya momongan." Ibu mengulang kembali pernyataannya tentang Mas Galih.Â
"Lo, Mas Galih sudah setahun menikah, jika sekarang ada momongan wajar kan, Bu. Selisih kami terpaut setahun."
"Justru itu, kapan kamu menyusul saudara-saudaramu?"
"Tuhan belum kasih jodoh Mia."
"Dicari, Nduk."
"Prabu juga orangnya baik kok. Suka sekali mengantarkan kamu pulang. Dia juga sopan dan suka humor. Ibu suka sama dia. Bakalan jadi mantu yang asyik..." Ibu Mia menahan tawanya. "Dia juga ngemong kayaknya. Cocok buat kamu jadiin suami. Karirnya juga ga jelek-jelek amat." Ibu Mia menambahkan.
"Mas Prabu hanya teman biasa, Bu. Mia tidak mencintainya. Mia hanya senang dengan kebaikannya. Kalo bercanda yaa... kami memang seperti itu." Mia berusaha menjelaskan kepada ibunya. Tapi entahlah. Apa benar yang dikatakan ibunya itu? Teman tapi mesra?
"Maksud ibu, bukan seperti itu Mia. Kamu ini perempuan. Sudah mateng, ibarat buah kamu itu tinggal dipetik. Nanti lama kelamaan kalo dibiarin gitu saja, gantung di pohon, buahnya jadi bosok. Kematengan. Dengan pekerjaan kamu yang mapan, punya rumah sendiri, mobil sendiri, apapun yang kamu mau kamu bisa beli, itu sudah lebih dari cukup. Usiamu sudah sangat matang untuk menikah, Nduk. Usia dua puluh tujuh tahun itu, bukanlah usia remaja lagi, tapi sudah masuk usia dewasa. Kamu harus paham itu."
Mia hanya bisa menghela nafas panjang. Ditelannya ludah yang memang tak ada. Didiamkan bibirnya tanpa getar Mia tidak menyahut perkataan ibunya. Puluhan kali Mia mendengar ibu membicarakan itu. Kalimatnya juga hampir sama. Sesak rasanya. Saluran pernafasan di paru-paru Mia serasa menyempit.
"Apa perlu Ibu yang bicara sama Nak Prabu." Ibu melirik Mia.