Skripsi: Hantu Pocong di Ujung Jalan…!
Bagaimana menaklukannya…? Mindfulness!
Oleh:
Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.Psi. C.Ht®
1. Skripsi: Ketakutan yang Selalu “Tersenyum” di Ujung Jalan
Skripsi. Kata yang bisa membuat siapa pun merasa seperti dikejar-kejar bayangan misterius, meski hanya duduk di depan laptop. Ketakutan itu tidak pernah hilang, dia seperti teman yang nggak diundang tapi selalu nongkrong di pojokan ruang tamu. Entah kenapa, meskipun kita sedang asyik makan mie instan di malam hari, tiba-tiba dia muncul: "Udah mulai skripsinya?" Hadeh, bukan cuma urusan nulis, tapi rasanya kayak ada pocong yang nangkring di belakang kursi, ngintipin kita tiap kali kita mikirin bab pertama atau judul skripsi. Dan yang paling parah, dia nggak muncul dalam bentuk wajah seram atau suara mengerikan, dia hanya punya senyum yang manis dan lembut, tapi penuh tipu daya: “Tenang aja, nulis skripsi itu cuma urusan waktu, kok!”
Begitu kita mulai mengabaikannya, eh, dia datang lagi dengan lebih manis. “Udah nulis berapa halaman?” katanya dengan nada yang santai, tapi seolah menyiratkan tekanan di balik senyum itu. Kita pun jadi merasa, jangan-jangan skripsi ini bukan soal waktu, melainkan soal seberapa cepat kita bisa lari dari kenyataan. Begitu kita mulai mencoba fokus, tiba-tiba muncul bayangan itu lagi, menunggu di depan pintu dengan wajah sok sabar. Padahal, di dalam hati kita sudah mulai galau, berpikir: "Apa yang salah sama aku ya? Kenapa susah banget mulainya?" Skripsi itu sebenarnya nggak menakutkan, tapi entah kenapa, dia bisa bikin kita merasa terpojok. Apalagi kalau kita dengar teman-teman lain yang sudah mulai melangkah, sementara kita masih terjebak di satu titik yang sama, terus muter-muter dalam kebingungan. Tapi di situlah letak trik skripsi: dia nggak perlu jadi monster besar yang mengerikan. Dia hanya perlu jadi sebuah teka-teki kecil yang sering kita takuti lebih dari yang seharusnya.
Ketakutan itu, kalau dipikir-pikir, sebenarnya lebih banyak hasil ciptaan kita sendiri. Skripsi hanyalah tumpukan kata, teori, dan data yang menunggu untuk dirangkai. Tapi entah kenapa, kita sering membayangkan skripsi itu seperti monster berkepala tiga, lengkap dengan “tanduk” deadline yang meneteskan racun maut. Padahal, kalau kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mencoba melihatnya dengan pikiran yang lebih jernih, skripsi itu hanyalah tugas. Sama seperti tugas lainnya, cuma bedanya kali ini lebih panjang dan butuh komitmen ekstra. Jadi, ketakutan itu sebenarnya bukan datang dari skripsinya sendiri, melainkan dari bagaimana kita memandangnya—dari cara kita membiarkan bayangan-bayangan negatif itu mengambil alih kemudi di kepala kita.
Tapi begini, kalau monster itu terlalu besar untuk dihadapi sekaligus, kita bisa kok membaginya jadi potongan-potongan kecil. Bab per bab, paragraf per paragraf, bahkan kata per kata. Dan kalau sesekali kita lelah, itu wajar—tidak ada yang bilang perjalanan ini harus sempurna. Skripsi bukan soal siapa yang paling cepat selesai atau siapa yang punya teori paling rumit. Skripsi adalah soal belajar bertanggung jawab pada diri sendiri, soal membuktikan bahwa kita mampu berjalan meski pelan, meski tersandung, tapi tetap sampai di garis akhir. Jadi, kalau si pocong skripsi itu masih nongkrong di pojok ruang belajar, senyumin aja. Bilang, 'Santai, gue nggak buru-buru. Pelan-pelan, tapi gue pasti selesai!
2. Minfulness sebagai Solusi
Kalau skripsi itu seperti pocong yang nangkring di pojok, maka mindfulness adalah lampu senter yang bisa kita pegang buat menerangi sudut-sudut gelap pikiran kita. Mindfulness bukan tentang menghapus stres, tapi tentang berdamai dengan dia, si pocong itu. Jadi, kalau kita sedang duduk di depan laptop dan tiba-tiba merasa napas sesak gara-gara deadline, coba berhenti sejenak. Tutup mata, tarik napas pelan-pelan, dan fokus sama udara yang masuk dan keluar dari hidung. Rasakan kursi yang menopang tubuh kita, atau suara kipas angin yang berputar pelan. Dalam momen kecil itu, kita belajar untuk kembali ke “sini” dan “sekarang”. Jadi bukan kepada “omelan” dosen pembimbing yang sedang muter-muter di kepala kita, atau tentang deadline yang diumkan oleh Kaprodi.
Mindfulness juga ngajarin kita untuk nggak terlalu jahat sama diri sendiri. Kadang kita terlalu keras menyalahkan diri karena merasa lamban atau nggak cukup pintar. Tapi, lewat mindfulness, kita diajak untuk melihat usaha kita dengan rasa syukur. 'Hari ini aku nggak selesai banyak, tapi aku sudah mencoba.' Dengan sikap ini, kita nggak lagi berlomba dengan bayangan “pocong” itu, tapi berjalan beriringan, sambil sesekali bilang, 'Hai, Pocong, duduk dulu deh, gue perlu istirahat.' Dan percaya atau nggak, saat kita berhenti sebentar, sering kali ide-ide cemerlang justru bermunculan tanpa diminta. Ini berarti, Anda telah menaklukan “si pocong” tadi.
Dengan mindfulness, skripsi bukan lagi tentang balapan mencapai garis akhir, tapi soal menikmati setiap langkah yang kita ambil. Bab demi bab bukan hanya sekedar tumpukan huruf di layar, tapi adalah tentang cerita panjang perjuangan yang kita tulis sendiri. Jadi, saat selesai nanti, kita nggak cuma bangga karena menyelesaikan skripsi, tapi juga karena kita sudah belajar untuk menjadi lebih sabar, lebih tenang, dan lebih menghargai proses. Singkatnya, kita sudah bisa mengapresisi diri sendiri dan orang lain.
3. Skripsi: Hantu Pocong di Ujung Jalan…! Bagaimana Menaklukannya dengan Mindfulness?
Ada pocong di ujung jalan. Begitu kata hati kita saat melihat judul skripsi terpampang di layar laptop. Rasanya seperti ada sesuatu yang menunggu, entah menakutkan, entah membuat kita mati langkah. Kita ingin maju, tapi takut. Ingin selesai, tapi berat. Pocong itu nyata di mata, meski mungkin sebenarnya hanya bayangan.
Tapi tenang. Pocong—apalagi pocong skripsi—tidak pernah lebih besar dari keberanian kita. Sama seperti semua pocong dalam film, dia bisa ditaklukkan. Dan kali ini, kita punya jurus: mindfulness.
a. Berhenti Sejenak, Ambil Kesempatan untuk Bernapas
Pernah lihat adegan film horor, di mana tokoh utamanya diam sebentar, mendengar napasnya sendiri, sebelum akhirnya melangkah? Mindfulness itu seperti itu. Ketika skripsi mulai terasa seperti beban yang menghimpit, berhentilah sejenak. Tarik napas dalam-dalam. Biarkan udara masuk dan keluar perlahan. Rasakan.
Bernapas itu sederhana, tapi sering kita lupa melakukannya dengan sadar. Dan anehnya, begitu kita ingat untuk bernapas dengan, dunia di sekitar jadi terasa lebih jernih. Skripsi yang tadinya seperti pocong raksasa jadi mengecil, tinggal hanya kata-kata di halaman kosong.
b. Lakukan Satu Langkah Kecil, Tidak Perlu Melompat
Pocong itu menakutkan karena kita membayangkannya terlalu jauh di ujung jalan. Mindfulness mengajarkan kita untuk melihat apa yang ada di depan kita, saat ini. Jangan pikirkan revisi Bab 4 atau pertanyaan dosen di sidang nanti. Lihat yang kecil saja:
Hari ini, cari tiga referensi.
Sekarang, tulis satu paragraf pengantar.
Dengan begitu, pocong itu tidak lari ke mana-mana. Dia tetap di sana, tapi langkah kita maju perlahan. Dan setiap langkah, kita lebih dekat dengannya.
c. Pikiran Negatif Itu Seperti Angin, Biarkan Berlalu
Kadang kita sendiri yang membesar-besarkan bayangan pocong itu. Pikiran seperti "Saya nggak mampu," "Ini terlalu sulit," atau "Revisinya nggak bakalan selesai" sering datang tanpa diundang. Tapi mindfulness bilang, pikiran itu hanya angin lalu. Biarkan datang, biarkan pergi. Tidak perlu bertengkar dengannya.
Bayangkan pikiran negatif itu seperti pocong yang berdiri di kejauhan. Tidak usah lari ketakutan, tapi juga tidak usah diajak ngobrol. Cukup sadar bahwa dia ada di sana, lalu teruskan langkah Anda.
d. Nikmati Prosesnya, Bukan Hanya Tujuannya
Ini yang sering kita lupakan. Kita terlalu sibuk berpikir tentang kapan selesainya skripsi, tentang toga, atau senyum orang tua di hari wisuda, sampai lupa menikmati proses menulis. Mindfulness mengingatkan kita: peoses itu sama pentingnya dengan tujuan. Nikmati saat Anda mengetik kata demi kata, saat menyalin referensi, bahkan saat harus memperbaiki revisi. Proses ini adalah bagian dari cerita Anda. Dan cerita itu akan jadi kenangan, sesuatu yang akan Anda ceritakan kelak dengan bangga kepada anak cucu Anda. Atau setidaknya kepada siswa atau kepada bawahan Anda, atau kolega Anda.
e. LegowoMenerima Ketidaksempurnaan
Skripsi itu bukan film blockbuster. Tidak harus sempurna, yang penting selesai. Dosen tidak meminta karya besar Anda untuk mengubah dunia, Ia hanya meminta Anda untuk menyelesaikan apa yang telah Anda mulai. Mindfulness mengajarkan kita untuk menerima apa adanya, termasuk skripsi yang mungkin masih banyak kekurangannya. Bayangkan skripsi itu seperti pocong yang akhirnya Anda dekati. Ternyata, dia cuma pocong buatan. Tidak ada yang menakutkan, karena dia hanya menunggu Anda untuk menyelesaikan cerita.
Kesimpulan
- Pocong di ujung jalan itu meski nyata, dia tidak akan pernah lebih besar dari langkah Anda untuk maju. Dengan mindfulness, Anda belajar untuk berhenti, bernapas, dan menyadari bahwa semua yang Anda takutkan sebenarnya hanya bayangan.
- Skripsi bukan hantu, tapi pintu. Pintu menuju keberanian, ketekunan, dan kebanggaan diri. Jadi, sekarang saatnya Anda melangkah. Dengan napas yang tenang, dengan langkah yang penuh kesadaran.
- Dan siapa tahu, di ujung jalan, Anda akan melihat bahwa pocong itu sebenarnya hanya… ciptaan otak Anda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H