Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Skripsi: Hantu Pocong di Ujung Jalan...! Bagaimana Menaklukkannya...? Mindfulness!

21 Januari 2025   12:05 Diperbarui: 21 Januari 2025   12:05 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Pocong di ujug jalan Sumber: AI

Skripsi: Hantu Pocong di Ujung Jalan…!

Bagaimana menaklukannya…? Mindfulness!

Oleh:

Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.Psi. C.Ht®

 

1. Skripsi: Ketakutan yang Selalu “Tersenyum” di Ujung Jalan

Skripsi. Kata yang bisa membuat siapa pun merasa seperti dikejar-kejar bayangan misterius, meski  hanya duduk di depan laptop. Ketakutan itu tidak pernah hilang, dia seperti teman yang nggak diundang tapi selalu nongkrong di pojokan ruang tamu. Entah kenapa, meskipun kita sedang asyik makan mie instan di malam hari, tiba-tiba dia muncul: "Udah mulai skripsinya?" Hadeh, bukan cuma urusan nulis, tapi rasanya kayak ada pocong yang nangkring di belakang kursi, ngintipin kita tiap kali kita mikirin bab pertama atau judul skripsi. Dan yang paling parah, dia nggak muncul dalam bentuk wajah seram atau suara mengerikan, dia hanya punya senyum yang manis dan lembut, tapi penuh tipu daya: “Tenang aja, nulis skripsi itu cuma urusan waktu, kok!”

Begitu kita mulai mengabaikannya, eh, dia datang lagi dengan lebih manis. “Udah nulis berapa halaman?” katanya dengan nada yang santai, tapi seolah menyiratkan tekanan di balik senyum itu. Kita pun jadi merasa, jangan-jangan skripsi ini bukan soal waktu, melainkan soal seberapa cepat kita bisa lari dari kenyataan. Begitu kita mulai mencoba fokus, tiba-tiba muncul bayangan itu lagi, menunggu di depan pintu dengan wajah sok sabar. Padahal, di dalam hati kita sudah mulai galau, berpikir: "Apa yang salah sama aku ya? Kenapa susah banget mulainya?" Skripsi itu sebenarnya nggak menakutkan, tapi entah kenapa, dia bisa bikin kita merasa terpojok. Apalagi kalau kita dengar teman-teman lain yang sudah mulai melangkah, sementara kita masih terjebak di satu titik yang sama, terus muter-muter dalam kebingungan. Tapi di situlah letak trik skripsi: dia nggak perlu jadi monster besar yang mengerikan. Dia hanya perlu jadi sebuah teka-teki kecil yang sering kita takuti lebih dari yang seharusnya.

Ketakutan itu, kalau dipikir-pikir, sebenarnya lebih banyak hasil ciptaan kita sendiri. Skripsi hanyalah tumpukan kata, teori, dan data yang menunggu untuk dirangkai. Tapi entah kenapa, kita sering membayangkan skripsi itu seperti monster berkepala tiga, lengkap dengan “tanduk” deadline yang meneteskan racun maut. Padahal, kalau kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan mencoba melihatnya dengan pikiran  yang lebih jernih, skripsi itu hanyalah tugas. Sama seperti tugas lainnya, cuma bedanya kali ini lebih panjang dan butuh komitmen ekstra. Jadi, ketakutan itu sebenarnya bukan datang dari skripsinya sendiri, melainkan dari bagaimana kita memandangnya—dari cara kita membiarkan bayangan-bayangan negatif itu mengambil alih kemudi di kepala kita.

Tapi begini, kalau monster itu terlalu besar untuk dihadapi sekaligus, kita bisa kok membaginya jadi potongan-potongan kecil. Bab per bab, paragraf per paragraf, bahkan kata per kata. Dan kalau sesekali kita lelah, itu wajar—tidak ada yang bilang perjalanan ini harus sempurna. Skripsi bukan soal siapa yang paling cepat selesai atau siapa yang punya teori paling rumit. Skripsi adalah soal belajar bertanggung jawab pada diri sendiri, soal membuktikan bahwa kita mampu berjalan meski pelan, meski tersandung, tapi tetap sampai di garis akhir. Jadi, kalau si pocong skripsi itu masih nongkrong di pojok ruang belajar, senyumin aja. Bilang, 'Santai, gue nggak buru-buru. Pelan-pelan, tapi gue pasti selesai!

2. Minfulness sebagai Solusi

Kalau skripsi itu seperti pocong yang nangkring di pojok, maka mindfulness adalah lampu senter yang bisa kita pegang buat menerangi sudut-sudut gelap pikiran kita. Mindfulness bukan tentang menghapus stres, tapi tentang berdamai dengan dia, si pocong itu. Jadi, kalau kita sedang duduk di depan laptop dan tiba-tiba merasa napas sesak gara-gara deadline, coba berhenti sejenak. Tutup mata, tarik napas pelan-pelan, dan fokus sama udara yang masuk dan keluar dari hidung. Rasakan kursi yang menopang tubuh kita, atau suara kipas angin yang berputar pelan. Dalam momen kecil itu, kita belajar untuk kembali ke “sini” dan “sekarang”. Jadi bukan kepada “omelan” dosen pembimbing yang sedang muter-muter di kepala kita, atau tentang deadline yang diumkan oleh Kaprodi.

Mindfulness juga ngajarin kita untuk nggak terlalu jahat sama diri sendiri. Kadang kita terlalu keras menyalahkan diri karena merasa lamban atau nggak cukup pintar. Tapi, lewat mindfulness, kita diajak untuk melihat usaha kita dengan rasa syukur. 'Hari ini aku nggak selesai banyak, tapi aku sudah mencoba.' Dengan sikap ini, kita nggak lagi berlomba dengan bayangan “pocong” itu, tapi berjalan beriringan, sambil sesekali bilang, 'Hai, Pocong, duduk dulu deh, gue perlu istirahat.' Dan percaya atau nggak, saat kita berhenti sebentar, sering kali ide-ide cemerlang justru bermunculan  tanpa diminta. Ini berarti, Anda telah menaklukan “si pocong” tadi.

Dengan mindfulness, skripsi bukan lagi tentang balapan mencapai garis akhir, tapi soal menikmati setiap langkah yang kita ambil. Bab demi bab bukan hanya sekedar  tumpukan huruf di layar, tapi adalah tentang cerita panjang perjuangan yang kita tulis sendiri. Jadi, saat selesai nanti, kita nggak cuma bangga karena menyelesaikan skripsi, tapi juga karena kita sudah belajar untuk  menjadi lebih sabar, lebih tenang, dan lebih menghargai proses. Singkatnya, kita sudah bisa mengapresisi diri sendiri dan orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun