Pernahkah Anda merasa seperti ini? Berbaring di kasur, menatap langit-langit yang kosong, tapi kepala Anda terasa penuh. Setiap kesalahan kecil seolah membesar, memburu Anda tanpa ampun. “Kenapa aku begini?” atau “Apa aku memang tak bisa?” Pertanyaan-pertanyaan itu datang seperti hujan deras, tanpa jeda, tanpa kesempatan untuk berhenti.
Yang mungkin Anda belum tahu, otak tidak bermaksud menyakiti Anda. Ia hanya berusaha melindungi Anda, memastikan kesalahan tidak terulang. Tapi dalam upayanya itu, ia kadang tersesat. Ia lupa bahwa Anda adalah manusia—bukan mesin yang sempurna. Ketika rasa bersalah itu tinggal terlalu lama, zat-zat kebahagiaan seperti dopamin mulai surut. Sebaliknya, hormon stres seperti kortisol terus meningkat, membuat luka kecil di hati semakin sulit menganga lebar.
Namun, di balik semua ini, ada kabar baiknya. Bisikan-bisikan itu bisa Anda peluk, tidak perlu dilawan. Rasa bersalah, meskipun menyakitkan, adalah sebuah simbol bahwa Anda peduli. Ia adalah sebuah “sinyal” bahwa Anda masih punya hati.
Di sinilah letak keajaiban otak Anda: ia bisa sembuh, bahkan dari luka yang terdalam sekalipun. Saat Anda memilih berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan berkata lembut pada diri sendiri, “Aku sudah melakukan yang terbaik yang aku bisa,” maka bagian prefrontal cortex Anda bangkit kembali. Amigdala perlahan mereda, dan pikiran yang tadinya seperti badai pelan-pelan berubah menjadi air yang tenang.
Menyalahkan diri sendiri adalah hal yang lumrah. Sesekali, kita semua pernah melakukannya—terjebak dalam rasa bersalah yang menyiksa. Namun, yang menjadi bahaya adalah ketika rasa itu dibiarkan tumbuh menjadi penguasa dalam diri Anda, mendikte setiap langkah dan merampas ketenangan hati Anda.
Untuk melepaskan diri dari jeratnya, Anda perlu memberi ruang pada diri Anda sendiri—ruang untuk menerima bahwa ketidaksempurnaan adalah bagian dari siapa kita. Belajarlah memaafkan diri, bukan karena kesalahan itu tidak penting, tetapi karena kesalahan adalah guru yang mengajarkan arti bertumbuh. Tanpa salah, kita tak akan pernah tahu bagaimana rasanya belajar, memperbaiki, dan memahami diri sendiri. Pada akhirnya, inilah yang menjadikan kita manusia seutuhnya.
2. Anda Menyalahkan Sesama, Takdir, dan Tuhan?
Ada rasa lelah yang sering kali tak kita sadari, terbungkus dalam amarah dan ketidakpuasan. Lelah karena dunia tidak pernah sesuai dengan keinginan kita. Lelah karena hidup tidak berjalan seperti yang kita harapkan. Ketika seseorang terus menyalahkan sesama, nasib, bahkan Tuhan, sebenarnya ia sedang mencoba melawan sesuatu yang jauh lebih besar daripada dirinya sendiri.
Di otak, proses ini lebih dari sekadar reaksi emosional. Amigdala—pusat rasa takut, marah, dan kewaspadaan—bekerja seperti alarm yang terus-menerus menyala. Setiap kali seseorang menyalahkan, amigdala mengirimkan sinyal bahaya ke seluruh tubuh, seakan-akan hidup ini adalah medan perang yang penuh musuh. Akibatnya, tubuh terus-menerus berada dalam kondisi “siap tempur”—detak jantung meningkat, otot menegang, dan hormon stres seperti kortisol membanjiri darah.
Namun, ada bagian lain di otak, prefrontal cortex, yang seharusnya membantu kita berpikir jernih dan menemukan solusi. Ketika menyalahkan menjadi kebiasaan, bagian ini perlahan kehilangan kendali. Akibatnya, kita lebih sering bereaksi tanpa berpikir. Kita menjadi seperti kapal tanpa nakhoda, terombang-ambing di lautan emosi.
Dan di balik semua itu, ada sesuatu yang lebih dalam. Menyalahkan sering kali adalah pelarian. Sebuah cara untuk menghindari rasa sakit di dalam diri sendiri. Ketika kita merasa terluka, tidak berdaya, atau kehilangan harapan, menyalahkan menjadi tameng. Rasanya lebih mudah menunjuk orang lain, keadaan, atau bahkan Tuhan, daripada menerima bahwa hidup memang tidak selalu adil.