Memang, untuk berdamai dengan diri sendiri, sejatinya kita hanya perlu berhenti sejenak. Bukan untuk menyerah kalah, tetapi untuk mendengar apa yang selama ini disampaikan oleh hati secara diam-diam melalui berbagai sensasi tubuh atau pikiran, yang kadang-kadang tidak normal.
Sebab, berdamai bukanlh soal mencari kesempurnaan, apa lagi pembenaran diri. Itu adalah soal menerima, soal hati yang “legowo” ketika kita mendapatkan diri kita, tak sehebat yg kita harapkan, tapi justru dalam segala kekurangan, kelemahan, bahkan dengan segala kesakitannya. Namun diri ini tetaplah layak untuk mendapatkan penghargaan, mendapatkan cinta—terutama dari kita sendiri. Sebab, sesungguhnya diri kita itu masih saja memiliki sejumlah kelebihan, walau sering kita abaikan demi memperhatikan kekurangan kelemahan kita.
2. Terjebak dalam sikap Mempersalahkan Orang Lain
Pernahkah Anda merasa hidup ini seperti sebuah drama yang tak kunjung selesai, di mana Anda selalu menjadi pemeran utama yang terjebak dalam amarah dan kesal terhadap seseorang? Seseorang yang seakan menjadi hantu hitam dalam cerita hidup Anda—dengan segala kata-kata, sikap, atau tindakan yang tidak bisa Anda terima? Setiap kali Anda berpikir tentang dia, entah mengapa, dada Anda terasa penuh sesak, seperti ada beban yang tak pernah hilang.
Dan saat itu, Anda merasa seperti dunia ini adalah tempat yang sangat tidak adil. Anda berusaha keras, tetapi selalu saja ada orang lain yang menjadikannya lebih sulit. “Kalau dia tidak begitu, saya pasti bisa lebih bahagia. Kalau dia tidak mengungkapkan itu, saya pasti bisa lebih tenang. Kalau saja dia bisa berubah, saya tidak akan merasa seperti ini.” Begitu banyak kalimat yang berputar-putar, mengisi setiap ruang pikiran Anda, mengisi setiap detik yang Anda lalui.
Mereka—mereka itulah yang menurut Anda harus bertanggung jawab atas kekecewaan Anda, atas nasib “sial” Anda. Mereka-mereka itulah yang selalu berada di pihak yang salah, yang menjadi “kambing hitam” kesusahan Anda. Sementara Anda sendiri hanyalah korban dari sikap, perkataan, atau perbuatan mereka. Anda merasa terjebak dalam lingkaran itu. Setiap kali Anda berusaha melepaskan, setiap kali Anda mencoba untuk melupakan, mereka muncul lagi, lagi dan lagi. Seperti bayangan yang tak pernah hilang meskipun matahari bersinar terang.
Tapi, sebenarnya, apakah Anda merasa lebih lega setelah menyalahkan mereka? Apa yang Anda dapatkan setelah melemparkan beban itu ke muka orang lain? Ya. Paling-paling kelegaan sesaat. Sebuah rasa puas karena bisa “merasa” benar! Tapi setelah itu, apakah Anda merasa hidup ini lebih ringan? Apakah Anda merasa ada perubahan yang aignifikan? Heheheh. Saya menyangsikannya!
Tidak jarang, kita terjebak dalam perangkap itu. Kita merasa lebih baik setelah membenarkan diri kita dengan cara menyalahkan orang lain. Namun, tanpa kita sadari, kita justru semakin terperosok ke dalam lembah “kegalauan, dan semakin menjauh dari sumber-sumber kedamaian yang kita cari. Kita merasa seolah kita telah melepaskan beban, tapi yang kita lakukan hanyalah memindahkannya, dan beban itu tetap ada—hanya berpindah tempat, dari lengan kiri ke lengan kanan, atau dari punggung ke pinggang. Ia, beban itu, tidak pernah hilang dari hidup kita.
Seiring waktu, Anda mulai menyadari sesuatu yang lebih dalam. Ketika Anda terus mempersalahkan orang lain, maka yang sebenarnya terjadi adalah Anda sedang memberi mereka __daftar kesalahan orang itu__ kekuatan untuk mengendalikan emosi Anda. Mereka menjadi penguasa atas kedamaian batin Anda. Bukankah itu ironis?
Pada akhirnya, mempersalahkan orang lain hanya akan membuat kita semakin terperangkap dalam “jariing laba-laba” rasa galau yang lebih besar, lebih dalam, lebih tak kendali. Kita merasa kalah, lelah, dan tak pernah benar-benar bebas. Akan tapi, saat kita berhenti sejenak, menarik napas panjang, dan bertanya pada diri sendiri, “Mengapa ini begitu mengganggu?” kita mungkin mulai menemukan jawaban yang lebih jujur: bukan orang itu yang mengendalikan kita, tetapi perasaan kita terhadap mereka—harapan yang tak terpenuhi, luka yang belum sembuh, atau bahkan rasa tidak dihargai yang terus menggerogoti jiwa.
Mungkin, untuk pertama kalinya, kita perlu berhenti menyalahkan mereka dan mulai melihat ke dalam diri sendiri. Mungkin kita harus menyadari bahwa untuk meraih kedamaian, kita tidak perlu menunggu orang lain berubah. Kita hanya perlu belajar menerima, untuk melepaskan—bukan demi orang lain, tapi untuk diri kita sendiri. Agar beban itu tidak lagi menguasai, agar kita tidak lagi merasa terjebak.