Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mindfulness dan Mindlesness dalam Belajar: Sebuah Refleksi

8 Januari 2025   10:24 Diperbarui: 8 Januari 2025   10:24 551
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mindfulness dan Mindlessness dalam Belajar: Sebuah Refleksi

Oleh: Dr. Drs. Mimpin Sembiring, M.Psi., C.Ht®

 

 

Belajar seharusnya menjadi sebuah perjalanan. Seperti melangkah di sepanjang jalan, kita berjalan dengan tujuan, menikmati pemandangan, dan memperhatikan setiap langkah. Tapi, pernahkah Anda merasa seakan berjalan tanpa tahu ke mana arah langkah-langkah Anda? Itu adalah perasaan yang datang ketika kita terjebak dalam keadaan "mindlessness", atau ketidaksadaran.

Mindlessness dalam belajar sering kali terjadi tanpa kita sadari. Kita membaca buku, tetapi pikiran kita melayang ke hal lain. Kita mendengarkan guru atau dosen, tetapi benak kita sudah pergi ke tempat yang jauh. Semua yang kita lakukan terasa otomatis, seperti robot yang menjalankan perintah. Tidak ada kesadaran penuh tentang apa yang terjadi di sekitar kita, apalagi tentang apa yang kita pelajari. Belajar seperti ini hanya menghabiskan waktu, tanpa memberikan pemahaman yang mendalam.

Di sisi lain, ada yang disebut "mindfulness" – sebuah keadaan di mana kita sepenuhnya hadir dalam momen tersebut. Ketika kita belajar dengan mindfulness, kita benar-benar fokus pada apa yang kita pelajari. Setiap kata yang kita baca, setiap kalimat yang kita dengar, terasa hidup dan bermakna. Pikiran kita tidak melayang ke sana kemari; kita membiarkan diri untuk merasakan setiap informasi yang masuk, dengan kesadaran penuh. Kita menghargai proses belajar itu sendiri, bukan hanya hasil akhirnya.

Ketika kita belajar dengan mindfulness, kita mengajak otak untuk bekerja lebih maksimal. Kita menjadi lebih mudah mengingat apa yang kita pelajari, lebih mampu memproses informasi dengan baik, dan bahkan merasa lebih puas dengan diri kita setelah belajar. Ada perasaan tenang yang datang karena kita sadar bahwa kita telah memberi perhatian penuh pada apa yang sedang kita lakukan.

Sebaliknya, dalam keadaan mindlessness, kita hanya melakukan tugas untuk menyelesaikan kewajiban, tanpa ada rasa keterlibatan yang mendalam. Tugas itu menjadi beban, bukan kesempatan untuk berkembang. Belajar tanpa kesadaran, tanpa perhatian penuh, hanya akan membuat kita lelah tanpa mendapatkan hasil yang berarti.

Jadi, apakah kita akan terus berjalan tanpa arah, ataukah kita akan memilih untuk benar-benar hadir dalam setiap langkah belajar kita? Semua itu tergantung pada seberapa sadar kita memilih untuk mengatur pikiran kita, untuk tidak sekadar membaca atau mendengarkan, tetapi juga untuk merasakan dan memahami. Begitulah, belajar bisa menjadi pengalaman yang jauh lebih bermakna, hanya jika kita memilih untuk menjalani dengan kesadaran penuh.

Mindfulness, Mindlessness, dan Menemukan Passion dalam RIASEC

Menemukan passion dalam hidup sering kali terasa seperti pencarian yang panjang dan penuh teka-teki. Banyak orang terjebak dalam rutinitas, mencoba berbagai hal tanpa benar-benar mengetahui apa yang sebenarnya mereka cintai. Mereka terus berlari, namun kadang-kadang seperti berlari tanpa tujuan. Mereka terjebak dalam pola "mindlessness", bergerak dari satu hal ke hal lain tanpa pernah berhenti untuk merenung: Apakah ini benar-benar yang saya inginkan?

Di sinilah mindfulness hadir, sebagai penuntun yang membantu kita berhenti sejenak dan melihat ke dalam. Mindfulness bukan hanya tentang fokus pada apa yang kita lakukan, tetapi juga tentang kesadaran penuh terhadap diri kita—tentang apa yang membuat kita merasa hidup, apa yang membuat kita bersemangat. Mindfulness membawa kita untuk merenung: Apa yang benar-benar saya nikmati? Dan untuk menjawab pertanyaan itu, kita perlu mengenal diri kita lebih dalam, mendengarkan suara hati kita.

Begitulah RIASEC—model yang mengelompokkan minat ke dalam enam bidang utama—menjadi alat yang berguna dalam menemukan passion kita. Dengan mindfulness, kita dapat lebih jernih melihat apakah kita lebih tertarik pada pekerjaan yang bersifat Realistic, seperti bekerja dengan tangan atau alat? Atau mungkin kita lebih tertarik pada pekerjaan yang bersifat Investigative, yang menuntut kita untuk berpikir analitis dan menemukan solusi? Apakah kita lebih tertarik pada kreativitas dalam bidang Artistic, atau lebih memilih berinteraksi dengan orang lain dalam bidang Social? Atau mungkin, kita tergerak untuk bekerja dalam posisi yang mengarah pada dunia bisnis dan ekonomi, seperti pada Enterprising atau Conventional?

Mindlessness, di sisi lain, seringkali membuat kita terjebak dalam pilihan yang bukan berasal dari diri kita, melainkan dipengaruhi oleh harapan orang lain atau tekanan sosial. Kita mungkin memilih jurusan, karier, atau pekerjaan hanya karena itu dianggap "baik" atau "terhormat", tanpa mengetahui apakah itu benar-benar membuat kita bahagia. Seperti berjalan di jalan yang kita tidak tahu arahnya, kita bisa saja terjebak dalam rutinitas yang bukan milik kita.

Namun, ketika kita menghadapi hidup dengan mindfulness, kita akan lebih mudah untuk mengenali apa yang sebenarnya memberi kepuasan. Dengan kesadaran penuh, kita bisa mengeksplorasi setiap aspek dalam RIASEC dan menemukan di mana hati kita benar-benar bersemangat. Ketika kita memilih jalur yang sesuai dengan passion kita—baik itu dalam dunia sosial, seni, penelitian, atau bisnis—maka hidup kita akan lebih bermakna. Kita tidak hanya bergerak tanpa arah, tetapi kita berlari menuju sesuatu yang memotivasi kita.

Pada akhirnya, menemukan passion bukanlah tentang mencari jawaban yang cepat, tetapi tentang menyelami lebih dalam siapa kita sebenarnya, dengan pikiran yang jernih dan hati yang terbuka. Itulah kenapa mindfulness adalah kunci untuk menemukan jalur yang tepat, bukan hanya bagi diri kita, tetapi juga bagi karier yang bisa memberi kebahagiaan dan makna seumur hidup.

Multiple Intelligences, Mindfulness, dan Mindlessness bagi Mahasiswa

Dalam dunia pendidikan, Howard Gardner memperkenalkan konsep Multiple Intelligences (MI), yang menyatakan bahwa kecerdasan tidaklah tunggal, tetapi terdiri dari berbagai jenis yang berbeda. Gardner mengidentifikasi delapan jenis kecerdasan yang mencakup kecerdasan linguistik, logis-matematis, spasial, musikal, kinestetik, interpersonal, intrapersonal, dan naturalistik. Konsep ini membuka pandangan baru bahwa setiap mahasiswa memiliki potensi kecerdasan yang berbeda-beda, dan inilah yang seharusnya dihargai dalam proses pembelajaran.

Namun, meskipun memiliki kecerdasan yang beragam, banyak mahasiswa yang terkadang merasa terjebak dalam pola mindlessness, bergerak mengikuti rutinitas tanpa benar-benar mengenal kekuatan yang ada dalam diri mereka. Mereka terjebak dalam tuntutan akademik yang mengabaikan bagaimana cara belajar yang paling sesuai dengan potensi mereka. Seorang mahasiswa yang mungkin memiliki kecerdasan musikal bisa saja merasa frustrasi di dunia yang menilai kecerdasan hanya berdasarkan tes logika dan angka. Begitu pula, mereka yang lebih berbakat dalam kecerdasan interpersonal atau intrapersonal mungkin merasa terasingkan dalam sistem yang lebih mengutamakan pencapaian akademik individual.

Di sinilah mindfulness berperan. Mindfulness bukan hanya tentang kesadaran saat kita belajar, tetapi juga kesadaran terhadap diri sendiri. Mahasiswa yang mengembangkan mindfulness akan lebih mampu mengenali gaya belajar mereka sendiri, mengidentifikasi kecerdasan yang dominan dalam diri mereka, dan menyesuaikan strategi belajar yang sesuai dengan kecerdasan tersebut. Misalnya, seorang mahasiswa dengan kecerdasan kinestetik dapat lebih efektif belajar dengan cara praktek langsung atau melalui aktivitas fisik, sementara yang memiliki kecerdasan linguistik akan merasa lebih nyaman dengan membaca dan menulis.

Mindfulness juga membantu mahasiswa untuk mengatur emosi mereka. Ketika seseorang sadar dengan apa yang dirasakannya, seperti kecemasan sebelum ujian atau kebosanan dalam perkuliahan, mereka dapat merespons dengan cara yang lebih bijak. Dengan mengenali keadaan internal mereka, mahasiswa bisa menemukan cara yang tepat untuk mengelola stres, memaksimalkan kekuatan kecerdasan yang ada, dan menghindari kejadian-kejadian mindlessness, seperti belajar hanya karena terpaksa atau mengikuti arus tanpa kesadaran.

Namun, tanpa kesadaran penuh atau mindfulness, mahasiswa sering kali terjebak dalam mindlessness, yang membuat mereka terjebak dalam pola belajar yang tidak efektif. Mereka mungkin merasa terbebani oleh standar akademik yang mengabaikan kecerdasan mereka yang lebih dominan. Dalam kondisi ini, mereka mungkin terus-menerus merasa tidak puas atau tidak mampu, padahal sebenarnya mereka hanya belum menemukan cara yang tepat untuk belajar berdasarkan kecerdasan mereka.

Dengan mindfulness, mahasiswa memiliki kesempatan untuk berhubungan dengan kekuatan diri mereka secara lebih dalam dan memilih strategi pembelajaran yang lebih selaras dengan potensi kecerdasan mereka. Ini adalah proses yang membebaskan, yang tidak hanya membuat mereka lebih sukses dalam pendidikan, tetapi juga memberi makna pada perjalanan hidup mereka.

Mindfulness: Kehadiran yang Penuh dalam Setiap Detik

Mindfulness adalah sebuah seni. Bukan seni yang terpampang di kanvas, bukan pula seni yang terdengar di ruang konser, melainkan seni hadir sepenuhnya di setiap detik kehidupan. Bayangkan, kita berada dalam sebuah ruangan yang penuh sesak, suara bising di sekeliling kita, tapi entah bagaimana, di tengah keramaian itu, kita merasa damai. Kita tidak menghakimi, tidak terburu-buru, hanya merasakan dan mengamati dengan penuh kesadaran. Begitulah mindfulness. Kehadiran tanpa distraksi, keterbukaan terhadap segala yang ada tanpa harus melarikan diri atau membenarkan apa pun.

Dalam dunia yang serba cepat ini, di mana kita sering kali terjebak dalam alur kehidupan yang penuh dengan keinginan dan ketakutan, mindfulness datang sebagai pelarian yang sesungguhnya. Ia bukan pelarian dari kenyataan, tetapi cara untuk benar-benar hidup dalam kenyataan. Dengan mindfulness, kita diajak untuk berhenti sejenak dari kebiasaan kita yang terburu-buru, merenung sejenak, dan benar-benar merasakan setiap pengalaman yang kita jalani. Ini bukan tentang memikirkan apa yang telah terjadi atau khawatirkan apa yang akan datang, melainkan benar-benar hadir dalam momen yang ada.

Seorang anak yang bermain bola di lapangan, yang terlarut dalam gerakan tubuh dan bola yang berputar, ia sedang berlatih mindfulness. Seorang ibu yang menyiapkan makan malam dengan penuh perhatian pada setiap potongan sayuran, ia sedang berlatih mindfulness. Bahkan ketika kita sedang duduk di tempat yang tenang, menikmati secangkir kopi, sesekali menyentuh cangkir itu dengan tangan, merasakan kehangatannya, itu adalah mindfulness. Tidak ada tempat yang lebih baik untuk berlatih mindfulness selain dalam setiap tindakan kecil yang kita lakukan setiap hari.

Banyak dari kita mungkin pernah merasa begitu tertekan oleh tuntutan hidup, memikirkan pekerjaan yang belum selesai, atau mengkhawatirkan masa depan yang belum jelas. Di sinilah mindfulness menjadi penting. Mindfulness mengajarkan kita untuk tidak terjebak dalam keruwetan pikiran itu. Ia mengingatkan kita bahwa kita tak perlu membawa masa lalu ke dalam masa kini. Ia bukan tentang menghindari stres atau ketegangan, melainkan bagaimana kita merasakannya dengan penuh kesadaran dan membiarkannya berlalu tanpa memberi dampak berlebih.

Coba ingat, adakah saat kita benar-benar hadir dalam percakapan, mendengarkan dengan sepenuh hati tanpa berpikir tentang apa yang akan kita katakan selanjutnya? Itulah mindfulness. Ia adalah kemampuan untuk membuka diri terhadap pengalaman hidup yang terkadang kita anggap remeh, namun sebenarnya memberi banyak pelajaran. Dalam setiap detik yang kita jalani, ada kekuatan besar yang bisa kita rasakan jika kita hanya memberi perhatian lebih.

Mindfulness bukan hanya tentang duduk diam dan bermeditasi. Itu hanya salah satu cara. Mindfulness adalah cara hidup, cara untuk menghubungkan pikiran, tubuh, dan jiwa dalam satu kesatuan yang harmonis. Setiap detik adalah kesempatan untuk hidup dengan lebih penuh. Setiap perasaan, setiap nafas, adalah bagian dari perjalanan yang lebih dalam.

Jadi, mindfulness bukan hanya kata-kata indah yang kita baca di buku atau dengar dalam seminar motivasi. Ia adalah perjalanan yang dimulai dengan kesadaran dalam setiap langkah yang kita ambil. Sebuah seni untuk benar-benar hadir.

Mengapa Kita Mudah Terjebak dalam Mindlessness?

Kehidupan ini serba cepat, penuh tekanan, dan hampir setiap detiknya diwarnai dengan kebisingan. Bayangkan kita sedang berjalan di tengah keramaian, wajah-wajah yang tidak kita kenal berlalu-lalang, ponsel yang tidak berhenti bergetar, dan suara-suara yang datang dari segala arah. Dalam segala kebisingan itu, kita berjalan tanpa benar-benar merasa. Kita seperti zombie yang hanya tahu ke mana kaki melangkah, tanpa menyadari langkah itu sebenarnya menuju apa. Inilah mindlessness.

Mindlessness adalah kebalikan dari mindfulness. Jika mindfulness adalah kesadaran penuh dalam setiap momen, mindlessness adalah ketidaksadaran. Ketika kita tidak hadir dalam momen yang ada, kita terjebak dalam mindlessness. Kita sering kali melakukan aktivitas sehari-hari dengan autopilot, tanpa berpikir, hanya mengikuti rutinitas yang kita anggap sebagai kewajiban. Kita minum kopi tanpa merasakannya, berbicara dengan orang lain sambil memikirkan hal lain, atau bahkan tidur tanpa benar-benar tidur, pikiran kita masih berkelana ke sana kemari. Apa yang hilang dalam semua ini? Kehadiran kita sendiri.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Sederhana saja, dunia modern telah membentuk kita untuk menjadi begitu sibuk, begitu fokus pada tujuan yang jauh di depan sana, hingga kita lupa menikmati perjalanan yang sedang kita jalani. Pekerjaan menumpuk, deadline menghantui, media sosial terus memberi informasi tanpa henti, dan kita terjebak dalam arus yang begitu cepat. Dalam kesibukan itu, kita lupa untuk berhenti sejenak dan merasakan hidup yang sedang berjalan. Kita terlalu sibuk memikirkan masa depan yang belum tentu, atau bahkan menyesali masa lalu yang tak bisa diubah.

Tak hanya itu, dalam dunia yang begitu penuh dengan pilihan, kita juga terjebak dalam keraguan dan kebingungannya. Ketika begitu banyak pilihan yang datang, otak kita secara otomatis mencari cara tercepat dan termudah untuk menghindari ketidakpastian. Kita mencari kenyamanan, dan dalam kenyamanan itulah kita terjebak. Mindlessness memberi kita ilusi kenyamanan dengan menutup mata terhadap kenyataan yang ada di depan kita. Kita memilih untuk tidak berpikir terlalu keras, memilih untuk tidak merasakan terlalu dalam, karena itu menghindarkan kita dari ketegangan dan kecemasan. Padahal, kenyamanan itu justru membuat kita semakin jauh dari kehidupan yang sesungguhnya.

Lalu, kenapa kita terjebak di dalamnya? Sebab, mindlessness tidak memberi kita perasaan bersalah. Ia memberi kita kenyamanan semu, membuat kita merasa tidak perlu terlalu memikirkan apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan, dan ke mana kita pergi. Inilah yang memudahkan kita terjebak di dalamnya, karena kita tidak merasakannya sebagai masalah. Sementara itu, kita terus berlari, semakin cepat menuju tujuan yang tak jelas, sementara hidup yang sesungguhnya—di sini dan sekarang—terlewat begitu saja.

Terkadang kita hanya perlu berhenti. Sejenak, dalam keheningan, mendengarkan suara hati kita, merasakan dunia di sekitar kita. Kita perlu belajar untuk berhenti berlari dan benar-benar hidup dalam momen yang ada. Karena, dalam dunia yang semakin bising ini, hanya dengan kehadiran yang penuh kita bisa menemukan makna sejati dari setiap langkah yang kita ambil.

Itulah kenapa kita mudah terjebak dalam mindlessness. Kita terjebak dalam kenyamanan semu, dalam kebisingan tanpa arti. Padahal, hidup hanya terjadi di sini, di saat ini. Namun, sering kali, kita lupa untuk menyadarinya.

Mengembalikan Diri pada Mindfulness di Tengah Kebisingan Dunia

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah tidur ini, di mana notifikasi ponsel terus berdengung seperti suara jangkrik yang tak pernah lelah, banyak dari kita—terutama mahasiswa, para profesional, atau bahkan mereka yang masih muda, generasi Z—terjebak dalam kebisingan yang menyesakkan. Dunia seakan mengharuskan kita untuk terus berlari, mengejar sesuatu yang belum tentu jelas dan tidak selalu nyata. Tetapi, di antara kebisingan itu, ada satu hal yang sering kita lupakan: diri kita sendiri.

Untuk kembali pada mindfulness, langkah pertama adalah belajar untuk berhenti. Jangan buru-buru menanggapi setiap pesan yang masuk, jangan terburu-buru melanjutkan ke tugas berikutnya, jangan tergesa-gesa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Berhentilah sejenak dan tarik napas dalam-dalam. Cobalah untuk sadar akan setiap detik yang kita jalani. Sebuah langkah kecil, namun itu adalah langkah pertama menuju kesadaran yang lebih besar.

Bagi seorang mahasiswa yang sibuk dengan tugas-tugas, ujian, dan tekanan sosial, atau seorang profesional yang tak pernah lepas dari rapat dan tenggat waktu, atau bahkan para Gen Z yang lebih sering terhubung dengan dunia maya daripada dengan dunia nyata, mereka harus belajar memisahkan diri dari kebisingan itu. Bukan berarti menutup mata pada dunia luar, tetapi memilih untuk lebih hadir dengan diri sendiri. Mindfulness mengajarkan kita untuk fokus pada momen yang sedang terjadi. Apa yang kita lakukan sekarang? Apa yang kita rasakan saat ini? Ketika kita benar-benar memberi perhatian pada setiap tindakan kita, bahkan hal-hal kecil sekalipun, kita akan merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan dunia yang sebenarnya.

Kuncinya adalah latihan. Mindfulness bukanlah sesuatu yang datang begitu saja, tetapi sesuatu yang perlu dipraktikkan. Cobalah setiap hari untuk meluangkan beberapa menit hanya untuk duduk diam, mengamati pernapasan, dan merasakan tubuh kita. Hal-hal sederhana seperti menikmati secangkir kopi tanpa terburu-buru, berjalan kaki tanpa melihat ponsel, atau mendengarkan orang lain berbicara dengan penuh perhatian, semua itu adalah bentuk mindfulness yang bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jangan takut untuk memberi diri kita izin untuk berhenti dan merasakan momen itu sepenuhnya. Dunia akan tetap berjalan meski kita berhenti sejenak.

Bagi seorang mahasiswa yang sedang berjuang dengan ujian dan tugas-tugas, mindfulness bisa berarti tidak hanya fokus pada hasil yang ingin dicapai, tetapi pada proses belajar itu sendiri. Alih-alih khawatir tentang nilai atau takut gagal, cobalah untuk menikmati setiap langkah dalam belajar. Rasakan kepuasan ketika memahami sesuatu yang baru, hargai setiap kali otak kita berhasil menyerap informasi. Begitu pun bagi para profesional, mindfulness bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan atau memenuhi target, tetapi tentang bagaimana kita menjalani setiap hari dengan penuh kesadaran, menjalin hubungan yang lebih mendalam dengan kolega, atau bahkan hanya menikmati secangkir teh di tengah kesibukan.

Bagi para Gen Z, yang sering kali tergoda untuk berlarian dari satu konten ke konten lain, mindfulness mengajarkan kita untuk mengurangi konsumsi informasi yang tidak perlu dan lebih memperhatikan kualitas daripada kuantitas. Alih-alih terjebak dalam perbandingan sosial atau terus-menerus memeriksa media sosial, beranikan diri untuk bertanya, "Apa yang benar-benar penting bagi saya sekarang?" Biarkan diri kita merasa cukup dengan apa yang ada, dan bukan apa yang kita kira harus kita miliki.

Di dunia yang tak henti-hentinya menawarkan kebisingan, di mana segala hal bergejolak dalam kecepatan tinggi, kita membutuhkan waktu untuk diri kita sendiri. Mindfulness mengajak kita untuk kembali ke diri kita yang sejati, mengingatkan kita bahwa hidup yang sesungguhnya hanya ada di sini dan sekarang. Itu tidak harus sulit. Itu hanya butuh ketenangan, kesabaran, dan keberanian untuk hadir sepenuhnya, meskipun dunia terus berputar. Jadi, berhentilah sejenak, tarik napas, dan temukan kembali ketenangan yang ada di dalam diri kita. Dunia akan menunggu, dan kita pun akan merasa lebih siap untuk menghadapinya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun