Mohon tunggu...
Mimpin Sembiring
Mimpin Sembiring Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Psikologi pada Sekolah Tinggi Pastoral Santo Bonaventura Delitua Medan

Suka belajar dan berenang

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mindfulness dan Mindlesness dalam Belajar: Sebuah Refleksi

8 Januari 2025   10:24 Diperbarui: 8 Januari 2025   10:24 546
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kehidupan ini serba cepat, penuh tekanan, dan hampir setiap detiknya diwarnai dengan kebisingan. Bayangkan kita sedang berjalan di tengah keramaian, wajah-wajah yang tidak kita kenal berlalu-lalang, ponsel yang tidak berhenti bergetar, dan suara-suara yang datang dari segala arah. Dalam segala kebisingan itu, kita berjalan tanpa benar-benar merasa. Kita seperti zombie yang hanya tahu ke mana kaki melangkah, tanpa menyadari langkah itu sebenarnya menuju apa. Inilah mindlessness.

Mindlessness adalah kebalikan dari mindfulness. Jika mindfulness adalah kesadaran penuh dalam setiap momen, mindlessness adalah ketidaksadaran. Ketika kita tidak hadir dalam momen yang ada, kita terjebak dalam mindlessness. Kita sering kali melakukan aktivitas sehari-hari dengan autopilot, tanpa berpikir, hanya mengikuti rutinitas yang kita anggap sebagai kewajiban. Kita minum kopi tanpa merasakannya, berbicara dengan orang lain sambil memikirkan hal lain, atau bahkan tidur tanpa benar-benar tidur, pikiran kita masih berkelana ke sana kemari. Apa yang hilang dalam semua ini? Kehadiran kita sendiri.

Kenapa hal ini bisa terjadi? Sederhana saja, dunia modern telah membentuk kita untuk menjadi begitu sibuk, begitu fokus pada tujuan yang jauh di depan sana, hingga kita lupa menikmati perjalanan yang sedang kita jalani. Pekerjaan menumpuk, deadline menghantui, media sosial terus memberi informasi tanpa henti, dan kita terjebak dalam arus yang begitu cepat. Dalam kesibukan itu, kita lupa untuk berhenti sejenak dan merasakan hidup yang sedang berjalan. Kita terlalu sibuk memikirkan masa depan yang belum tentu, atau bahkan menyesali masa lalu yang tak bisa diubah.

Tak hanya itu, dalam dunia yang begitu penuh dengan pilihan, kita juga terjebak dalam keraguan dan kebingungannya. Ketika begitu banyak pilihan yang datang, otak kita secara otomatis mencari cara tercepat dan termudah untuk menghindari ketidakpastian. Kita mencari kenyamanan, dan dalam kenyamanan itulah kita terjebak. Mindlessness memberi kita ilusi kenyamanan dengan menutup mata terhadap kenyataan yang ada di depan kita. Kita memilih untuk tidak berpikir terlalu keras, memilih untuk tidak merasakan terlalu dalam, karena itu menghindarkan kita dari ketegangan dan kecemasan. Padahal, kenyamanan itu justru membuat kita semakin jauh dari kehidupan yang sesungguhnya.

Lalu, kenapa kita terjebak di dalamnya? Sebab, mindlessness tidak memberi kita perasaan bersalah. Ia memberi kita kenyamanan semu, membuat kita merasa tidak perlu terlalu memikirkan apa yang kita rasakan, apa yang kita lakukan, dan ke mana kita pergi. Inilah yang memudahkan kita terjebak di dalamnya, karena kita tidak merasakannya sebagai masalah. Sementara itu, kita terus berlari, semakin cepat menuju tujuan yang tak jelas, sementara hidup yang sesungguhnya—di sini dan sekarang—terlewat begitu saja.

Terkadang kita hanya perlu berhenti. Sejenak, dalam keheningan, mendengarkan suara hati kita, merasakan dunia di sekitar kita. Kita perlu belajar untuk berhenti berlari dan benar-benar hidup dalam momen yang ada. Karena, dalam dunia yang semakin bising ini, hanya dengan kehadiran yang penuh kita bisa menemukan makna sejati dari setiap langkah yang kita ambil.

Itulah kenapa kita mudah terjebak dalam mindlessness. Kita terjebak dalam kenyamanan semu, dalam kebisingan tanpa arti. Padahal, hidup hanya terjadi di sini, di saat ini. Namun, sering kali, kita lupa untuk menyadarinya.

Mengembalikan Diri pada Mindfulness di Tengah Kebisingan Dunia

Di tengah hiruk-pikuk dunia yang tak pernah tidur ini, di mana notifikasi ponsel terus berdengung seperti suara jangkrik yang tak pernah lelah, banyak dari kita—terutama mahasiswa, para profesional, atau bahkan mereka yang masih muda, generasi Z—terjebak dalam kebisingan yang menyesakkan. Dunia seakan mengharuskan kita untuk terus berlari, mengejar sesuatu yang belum tentu jelas dan tidak selalu nyata. Tetapi, di antara kebisingan itu, ada satu hal yang sering kita lupakan: diri kita sendiri.

Untuk kembali pada mindfulness, langkah pertama adalah belajar untuk berhenti. Jangan buru-buru menanggapi setiap pesan yang masuk, jangan terburu-buru melanjutkan ke tugas berikutnya, jangan tergesa-gesa berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Berhentilah sejenak dan tarik napas dalam-dalam. Cobalah untuk sadar akan setiap detik yang kita jalani. Sebuah langkah kecil, namun itu adalah langkah pertama menuju kesadaran yang lebih besar.

Bagi seorang mahasiswa yang sibuk dengan tugas-tugas, ujian, dan tekanan sosial, atau seorang profesional yang tak pernah lepas dari rapat dan tenggat waktu, atau bahkan para Gen Z yang lebih sering terhubung dengan dunia maya daripada dengan dunia nyata, mereka harus belajar memisahkan diri dari kebisingan itu. Bukan berarti menutup mata pada dunia luar, tetapi memilih untuk lebih hadir dengan diri sendiri. Mindfulness mengajarkan kita untuk fokus pada momen yang sedang terjadi. Apa yang kita lakukan sekarang? Apa yang kita rasakan saat ini? Ketika kita benar-benar memberi perhatian pada setiap tindakan kita, bahkan hal-hal kecil sekalipun, kita akan merasa lebih hidup, lebih terhubung dengan dunia yang sebenarnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun