Mohon tunggu...
Mimin Triana
Mimin Triana Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa

Hobi saya scroll sosmed hehe, kepribadian kadang pemalu kadang malu maluin sekian

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Agnotisisme

13 November 2022   13:29 Diperbarui: 13 November 2022   13:33 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Dikutip dari jurnal yang berjudul Atheis dan Agnostik dalam Perspektif Agama Islam, Ashriyah, Saadatul (2019), seseorang yang agnostik tidak menyangkal keberadaan Tuhan secara mutlak. Agnostisisme menganggap keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin dapat dinalar oleh akal manusia. Oleh karena itu keberadaan Tuhan tidak dapat diketahui dengan cara apapun. Sedangkan ateisme menyangkal sama sekali keberadaan Tuhan karena tidak dapat dibuktikan secara empiris maupun logis keberadaan-Nya.

Disimpulkan, pengertian Agnostik dapat dikatakan tidak berani atau ragu akan keberadaan Tuhan, sedangkan ateisme menolak sekali bukti keberadaan Tuhan dengan alasan tidak logis.

 Lalu apa yang harus kita lakukan ketika berhadapan dengan orang yang agnostik?

Golongan agnostik merasa bahwa kebenaran yang pasti sukar (atau mustahil) untuk ditemukan. Karena kepastian itu sulit untuk dicapai, mereka memilih untuk bersikap acuh tak acuh. Bagaimana seharusnya kita menyikapi mereka?

Pertama-tama kita perlu mengapresiasi pandangan mereka. Semakin kita menyalahkan mereka tanpa argumen atau bukti yang memadai, semakin hal itu menguatkan agnostisisme mereka. Memahami cara berpikir mereka dan tidak menghakimi pemikiran semacam itu merupakan langkah awal yang perlu ditempuh. Mereka perlu mendapatkan kesan yang tulus bahwa kita tidak menggampangkan persoalan. Mereka perlu merasa nyaman terhadap kita karena mereka menganggap kita tidak bersikap dogmatis (menilai segala sesuatu hanya melalui dogma atau doktrin tetapi tanpa memberikan argumen yang baik).

Dalam kaitan dengan hal ini, kita perlu membiasakan diri untuk terbuka dan jujur. Kita harus mampu membedakan mana pernyataan dan mana alasan bagi pernyataan itu. Apabila suatu keyakinan yang kita pegang memang tidak memiliki bukti yang mutlak, kita perlu mengakui hal itu. Yang penting bukanlah bukti yang mutlak (absolute proof), melainkan alasan yang memadai (sufficient reason).

Langkah kedua yang tidak kalah penting adalah menerangkan bahwa keyakinan tidak selalu membutuhkan kepastian bukti secara mutlak. Dalam banyak hal setiap orang bisa (dan harus) mempercayai sesuatu walaupun bukti yang ada tidak 100%. Kita berani bepergian dengan pesawat terbang tanpa tahu secara pasti apakah para petugas teknis di bandara benar-benar berkomitmen terhadap pekerjaan mereka. Bahkan tidak ada seorang pun di antara kita yang berasa perlu untuk menanyakan nilai kelulusan pilot di sekolah penerbangannya. Kita juga memakan sajian di pesawat tanpa memusingkan apakah proses pengolahan makanan itu sudah memadai dari sisi kesehatan dan kebersihan.

Contoh-contoh ini masih dapat diperpanjang tanpa batas. Setiap hari kita dikondisikan untuk mempercayai sesuatu walaupun pengetahuan kita terhadap hal itu tidak memadai. Tanpa sikap ini, kita tidak mungkin dapat menjalani kehidupan kita dengan normal. Agnostisisme yang konsisten (dalam setiap keadaan) dan komprehensif (tidak hanya menyentuh hal-hal relijius) adalah mustahil untuk dipraktikkan dalam kehidupan nyata.

Masih berhubungan dengan hal ini, langkah ketiga adalah menunjukkan bahwa orang agnostik seringkali tidak bersikap agnostik terhadap agnostisisme mereka sendiri. Maksudnya, mereka meyakini bahwa pandangan mereka pasti benar. Mereka merasa tidak perlu mengkaji ulang pandangan mereka maupun pandangan orang lain. Tidak jarang mereka sendiri tidak memiliki bukti yang memadai untuk membenarkan agnostisisme mereka. Pendeknya, mereka telah bersikap tidak konsisten.

Seorang agnostik sejati seharusnya terus-menerus mempelajari segala sesuatu, baik yang ia percayai maupun tolak. Apabila ia sudah merasa yakin dengan suatu pandangan, ia telah berhenti menjadi seorang agnostik.

Apakah agnitisisme berbahaya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun