Cerpen : Bujang Lapuk
Bujang Lapuk demikian aku dijuluki orang se Kampung ku. Â Bersama senja yang berselimutkan awan yang gelap, aku seolah bercerita tanpa kata kepada senja. Senja yang berdiorama pelangi menjadi sahabat ku yang paling istimewa. Senja di Pantai adalah ruang bagi ku untuk bercengkrama dan meluapkan segala keresahan yang ada di hati. Bersama senja dengan deburan ombak yang saling berkejaran menjadi sahabat terbaikku.
Secara usia, aku belum terkategori Bujang lapuk. Bahkan ada yang bilang usia 40 adalah awal kehidupan. Di Kampung orang seusiaku sudah ada yang bermenantu. Bahkan ada kawan seKampung ku malah sudah bercucu. Tak heran setiap ada hajatan perkawinan, pertanyaan tentang kapan menikah selalu menjadi momok bagi ku. tak heran terkadang aku enggan datang ke acara kondangan warga. Bukannya aku sombong atau enggan bersilahturahmi, namun pertanyaan kapan itu yang membuat aku takut.beraktivitas sosial itu.
Bahkan ada asumsi dikalangan warga secara sembunyi-sembunyi bahwa aku tergolong lelaki tanpa kejantanan. Mareka boleh saja berpikiran demikian. Ini eranya demokrasi. Era keterbukaan. mareka tidak memahami saat aku ditugaskan Pak Camat ke luar Kota, aku selalu mencicipi kehormatan perempuan malam Kota. bahkan ada perempuan malam yang kunikmati amat terpesona dengan kelaki-lakianku..
" Sungguh sangat bahagia istri Mas. kejantanan Mas sangat luarbiasa. baru kali ini aku mendapati tamu dengan kelaki-lakian yang super jumbo," ujarnya usai kami bercinta.
 Aku cuma tersenyum.
Seorang dokter muda yang datang ke Kampung kami adalah sumber segala petaka itu. bahkan aku menyebutnya sebagai sumber segala sumber malapetaka. Bagaimana tidak, hubunganku dengan Anyong harus terpisah hanya karena penyakit orang tua Anyong yang bisa diobati dokter muda itu. Padahal semua orang Kampng tahu bagaimana hubungan kami. Bahkan orang tua kami pun sudah saling merestui. Dan yang mareka tidak tahu bagaimana aku dan Anyong sudah saling berbagi kelamin pada suatu malam di kebun milik orang tua Anyong.
Bersama malam yang bening kami berdua menikmati dinginnya malam dengan berselimutkan api asmara kami yang mengebu. Keikhlasan wajah Anyong membuatku tak sadar diri. Aku makin ganas mencicipi seluruh tubuh gadis muda itu hingga dia beberapa kali harus menjerit dan mendesis manja. Derit dangau milik ayahnya beberapakali harus berderit dan seolah-olah akan roboh bersama dengan ganasnya syahwati kami yang terbakar. Mata anjing liar sangat tajam menatap dangau itu. Seolah terlena.
Aku pulang ke Kampung saat Anyong menikah dengan dokter muda itu. Kedatanganku seolah -olah disambut dengan pesta perkawinan yang sangat meriah. Bahkan ini adalah pesta pernikahan termewah yang ada di kampung kami. Bukan hanya ada hiburan musik dangdutnya hingga tiga malam berturut-turut, tapi kehadiran penyanyi dangdut top ibukota yang sering dilihat warga di televisi turut meramaikan pesta perkawinan terakbar di Kampung Kami itu.
Aku hanya terdiam. Kecerdasan intelektualku yang kuperoleh di Tanah Seberanglah yang membuat ku mampu bertahan hidup dan berkehidupan. hanya kecerdasan intelektual yang kuperoleh di bangku kuliah membuatku bisa berdiri tegar bak pahlawan perang yang kalah perang di medan laga. Dan saat aku mulai mengabdi di Kantor Kecamatan membuatku mulai melupakan kejadian buruk itu. Aku pun terlena dengan seribu tugas yang kini kuemban.
Senja itu, air di pantai mulai surut. Mulai menepi. Sementara burung camar mulai berlarian diangkasa yang biru sebagai tanda kebebasan diri. Mareka wira wiri di langit yang biru. Aku masih terpesona dengan senja. Sebuah tepukan mendarat dipunggungku. Aku sangat kaget. bahkan kaget sekali. Seseorang yang pernah ku kasihi hadir dengan senyumannya. Kecantikannya masih tersimpan bak belasan tahun lalu.