Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Perempuan Pemikul Takdir

5 November 2021   21:21 Diperbarui: 7 November 2021   10:00 406
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan yang turun sejak semalam masih belum reda sama sekali.  Airnya jatuh ke bumi dengan tempo irama musik. Kadang deras, kadang tidak. Bahkan kadang kala hanya berupa derai gerimis, lalu deras lagi, disertai angin dan petir. 

Perempuan muda itu mendongak. Mengamati langit yang masih tetap berpayung mendung tebal. Wajah  Perempuan muda yang biasa disapa dengan nama panggilan Mbak Muda terlihat agak pucat. Ibarat  kembang yang lepas dari tangkainya.

Matahari sudah diatas kepala. Meskipun cuaca seperti masih pagi. Perut Mbak muda bernyanyi. Maklum hanya sepotong singkong dan air putih sehabis subuh yang mengganjal perutnya.

Dia merogoh tas kecilnya. Setelah dikeluarkannya, dia hanya melihat selembar uang sepuluh ribuan yang sudah agak lusuh. Tergeletak ditelapak tangan kanannya. Semenjak habis subuh, hanya uang itu yang didapatnya. Sementara jualannya mash menumpuk dan menumpuk. Deretan kue dalam keranjangnya masih tersusun dengan rapi. Terbayang di depan kelopak mata indahnya yang menjadi magnet para lelaki yang melihatnya, wajah para pembuat kue yang menitipkan dagangannya kepada nya.

Terbersit keinginan untuk membeli sebungkus nasi di gerobak penjual yang ada di sampingnya. Tapi wajah anaknya di rumah terbayang dipelupuk bola matanya yang indah bak bola pingpong itu . Anak semata wayangnya, yang pagi itu pergi ke sekolah tanpa uang saku, dan perutnya hanya berisi singkong dan air putih. Sungguh tak adil rasanya bila dia harus membeli makanan sementara anaknya yang sedang  menuntut ilmu di sekolah tanpa uang saku.

Mbak Muda menarik lidahnya yang sedari sebelumnya sudah tergoda dengan makanan yang dijual penjual yang berada disampingnya, Menelan liurnya yang getir dan  melewati tenggorokannya yang kering, hingga purna jadi rasa  pahit. Dan kembali, tangannya dengan pelan dan lemas, kembali memasukkan uang sepuluh ribuan yang lusuh tadi ke dalam tasnya.

"Waduh! ," ucap Mbak Muda panik.

Wajahnya seketika  berubah tegang. Dia segera mengangkat jualannya. Lalu merapikan barang  dagangannya, Hujan deras kembali menyirami bumi. Dingin menjarum kulit. Ibu Tua gemetar. Bibirnya terlihat memutih.

" Kenapa Ibu tua masih di sini? Ayo cepat pergi!!" hardik salah sseorang petugas berseragam yang bertuliskan KEAMANAN dengan aksara kapital di dada baju mereka.

"Sebentar Pak. Saya akan beres-beres dulu," jelas Mbak Muda sambil membereskan dagangannya. Sementara dia mengabaikan punggungnya diderai hujan,

"Sebentar, Pak. Saya minta tolong dengan teman dulu," pinta Mbak Muda lagi dengan tangan menangkup.

"Cepat!!" Suara petugas keamanan kembali menghampiri kuping Mbak Muda dengan narasi membentak. 

Mendengar itu dengan dada renyuh. Jiwanya menangis.
" Rakyat kecil. Oh nasibmu," dia membatin. 

Bersamaan dengan itu, dirinya berlari menerobos hujan ke seberang jalan. Seluruh tubuhnya basah.

Mbak Muda memanggilnya nama seseorang  ke segerombolan lelaki yang sedang ngopi di sebuah warung. Seorang lelaki paruh baya menoleh, kemudian bangkit setelah menghabiskan kopinya dengan seruputan yang agak lama.

Mbak Muda kembali  ke tempat jualannya. Dengan setengah berlari, pelan membelah hujan. Lelaki yang dipanggilnya itu pun mengikutinya dari belakang sambil sembari membawa becak. Bibir tuanya masih ditancap sebatang rokok yang mengepulkan asap yang membelah hujan. Sementara kakai tuanya terus mengayuh pedal becaknya dengan tempo lemah.

Usai mengisi barang dagangannya ke dalam becak, keduanya dengan segera meninggalkan tempat jualan Mbak Muda yang terletak di pintu masuk sebuah pertokoan pusat perbelanjaan besar yang ada di Kota mereka.

Setiap hari, ketika sudah berada diatas kepala,  dia dan rekan-rekan lainnya sesama pedagang kaki lima, harus pindah dari lokasi depan pintu masuk. Padahal semua pedagang mengimpikan berada di situ seharian karena ramai dilewati orang-orang.

Setiap panas matahari sudah berada diatas kepala, mereka, para pedagang kaki lima itu diharuskan pindah berjualan di luar  sebuah Pusat pembelajaan moderen. Dirinya rela membayar jasa kepada lelaki  tua yang berprofesi sebagai peneraik becak itu setiap hari untuk bisa mengangkut dagangannya ke tempat itu. Meski penarik becak itu kerap kali usil dengan memegang pantat atau pipinya.

"Terima kasih ya Pak," Mbak muda itu mengulur selembar uang.

"Aduh, kalau hari ini harus sepuluh ribu, Mbak. Aku kan harus kehujanan," jawab lelaki itu dengan lirikan mata menggoda.

"Jaraknya kan dekat Pak," ujar Mbak muda itu

"Pokoknya, jika tidak sepuluh ribu, aku minta ganti pipi saja, hehe." ujar Pak Tua, penarik becak.

Mbak muda itu  tak mau lelaki  tua bangka itu usil. Dengan segera ia merogoh tasnya. Mengeluarkan lembar uang satu-satunya yang ada dalam tas kecilnya. Sepuluh ribu. Dia memberikan uang itu kepada si lelaki dengan wajah yang muram.

"Terima kasih banyak ya!" lelaki tua itu menepuk-nepuk bahu Mbak muda. 

Perempuan muda itu menatap lekat lelaki tua itu yang sudah jauh ada di seberang. Mengelap baju basahnya dengan telapak  tangan. Perempuan muda itu kembali menangis. Seperti derai hujan. Tangannya meremas tasnya yang kempes.

Perempuan muda itu kemudian menatap dagangannya. Wajahnya semendung langit. Matanya tampak menyipit.

Sebenarnya hati Perempuan muda itu sangat risau berjualan di tempat itu. Selain pembelinya sedikit, dia juga sering digoda lelaki petugas KEAMANAN pusat perbelanjaan yang bernama Barong. 

Sudah beberapa kali Barong datang kepada perempuan muda itu. Barong juga sering usil kepada dirinya. Kadang ia menemani perempuan muda itu hingga pulang. Kadang berpura-pura baik dengan membantu memijat leher perempuan muda itu. Bahkan kadangkala membawakan makanan yang didapatkannya dari hasil narasi membentak para pedagang kaki lima.

Jika dirinya menolak, lelaki bertubuh kekar dan berkumis lebat itu mengeluarkan kartu pamungkasnya yakni mengancam. Perempuan muda itu tak bisa berbuat banyak. Hanya mengikuti alur yang dikehendaki lelaki itu, sambil melindungi diri dan menjaga martabatnya sebagai perempuan. 

Sebab dirinya sadar dan amat sadar, sejak ditinggal mati suaminya, ia harus menjalani takdir sebagai seorang janda muda yang sangat menggoda lelaki nakal tanpa naluri kemanusian yang melihatnya. Dan Perempuan muda itu sadar bahkan teramat sadar dengan jalan kehidupannya kini. Tiba-tiba dia teringat dengan anak semata wayangnya.

Toboali, jumat barokah, 5 November 2021

Salam sehat dari Toboali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun