Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Lelaki Tua dan Televisi Kunonya

1 November 2021   20:29 Diperbarui: 1 November 2021   20:47 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Lelaki Tua dan Televisi Kunonya

Setiap bulan November datang, lelaki renta itu selalu membolakbalik foto-foto lawas yang ada di album tuanya. Album tua pemberian seorang pemilik toko di alun-alun Kota selalu dibersihkannya setiap bulan November tiba. Sementara foto-fato itu dia dapatkan dari seorang fotografer asing yang menyaksikan kejadian saat tanggal 10 November, dimana para pejuang dahulu dengan penuh heroik merebut kembali markas penjajah di pusat Kota.

Biasanya usai sholat subuh, lelaki tua itu mulai membersihkan album foto yang berisikan foto-foto tentang perjuangan mareka para pejuang dulu. Lelaki tua yang kini hidup sebatang kara teringat kembali masa perjuangan dulu yang mareka tempuh dengan semangat nasionalisme yang tinggi dan penuh keiklasan.

" Kami dulu berjuang hanya dengan satu tekad. Indonesia harus merdeka. Penjajah harus angkat kaki dari bumi nusantara tercinta ini," ceritanya kepada beberapa warga yang bertamu ke rumahnya.

" Walaupun kakek tidak mendapat apa-apa dari Pemerintah?," tanya seorang warga.

" Bangsa ini sudah merdeka,  kami sudah sangat bahagia. Karena itu tekad kami dalam masa perjuangan dulu," jawab lelaki tua yang akrab dipanggil kakek oleh seluruh warga Kampung.

Lelaki renta itu sungguh sangat bahagia karena banyak diantara pejabat negara kini dulunya adalah anakbuahnya di batalion. Mareka kini sudah berpangkat tinggi dan memiliki jabatan penting di pemerintahan. Dan beberapa diantaranya sering dia lihat di televisi hitam putih miliknya yang kadang gambarnya sering tutun naik karena onderdilnya telah haus dimakan usia. Dan untuk menggantikan dengan televisi berwarna dia tak mampu.Maklum uang pensiunnya tak seberapa. Hanya cukup untuk makan seminggu saja.

Beberapa mantan anakbuahnya seringkali meminta dirinya untuk mengganti televisi hitamputih yang terletak di ruang tengah rumahnya yang setengah permanen. Tapi lelaki tua itu selalu menolak. Sejuta apologi selalu dinarasikannya hingga mantan anakbuahnya tak berkutik.

" Kalian semua kan tahu, bahwa televisi  itu saya beli dengan uang keringat saya. Demi membeli televisi itu saya iklas berpuasa setengah bulan," ujarnya.

" Walaupun televisi baru sudah ada, televisi itu tetap ada di rumah Bapak. Tak akan hilang. Nonton televisi pun bisa dengan baik dan nyaman karena berwarna dan layarnya lebar," jelas mantan anakbuahnya.

" Kalian lupa ya dengan sejarah televisi ini," jawabnya.

Para anakbuahnya pun terdiam. Tak bisa membujuknya lagi.Mareka hafal betul dengan watak bekas komandannya.

Bagi lelaki tua  televisi butut atau kuno kata bekas anak buahnya adalah salah satu saksi sejarah hidupnya bahkan bagi bangsa ini. Bagaimana tidak kala itu televisi itu menjadi saksi bagi seluruh pasukannya untuk melihat dan mendengar pidato dari pimpinan tertinggi penjajah bahwa penjajah telah mengakui bangsa ini merdeka. Televisi yang dia beli dengan cara kredit hingga membuatnya harus puasa setengah bulan tiap buannya penuh dengan memori. Bahkan televisi itu memperjodohkannya dengan mendiang istrinya.

" Kalau kalian semua ingin menggantikan televisi itu, berarti kalian semua saja ingin melupakan sejarah perjuangan bangsa ini," katanya.

" Dan saya sudah bertekad hingga ajal menjemput televisi ini tak bisa tergantikan. Tak akan saya ganti," ujarnya dengan nada narasi tegas dan  keras.

Kembali para mantan anak buahnya terdiam. Mematung dihadapannya. Tak ada suara sama sekali yang keluar dari mulut mereka.

Lelaki tua itu sudah tiga malam tak bisa lagi menyaksikan siaran televisi. Maklum televisi tua itu sedang direparasi di sebuah pusat perbengkelan televisi. Dan selama tiga hari pula lelaki itu tak mendapatkan informasi apapun tentang berita terkini yang hangat di tanah air.

Dan warga sekitar Kampung pun sudah tiga kali subuh tidak melihat lelaki renta itu datang ke masjid untuk sholat subuh berjemaah. Bahkan saat sholat magrib dan Isya di masjid pun, mareka tak  melihat batang hidung lelaki tua itu.

" Sudah beberapa hari ini, kakek tak kelihatan sholat berjemaah di masjid," tanya seorang jemaah.

" Iya. Apa beliau sakit," sambung jemaah masjid yang lainnya dengan nada setengah bertanya.

" Kalau begitu usai sholat magrib kita ke rumah beliau. Lagi pula sudah lama kita tak bersilahturahmi ke rumah beliau," ajak Ketua masjid.

Usai sholat magrib rombongan jemaah masjid menuju ke rumah lelaki renta. Rumah lelaki renta itu tampak sepi. Tak ada lampu penerangan. Gelap. Dengan senter para jemaah masjid mulai memasuki halaman rumah. Beberapa kali ketukan di pintu tak dijawab. Demikian pula dengan ucapan salam Assalamualaikum dari para jemaah tak terjawab.

Dengan kesepakatan bersama pula,pintu rumah lelaki tua itu didobrak secara bersama-sama pula. Brakkk. Dan saat para jemaah masjid masuk ke dalam rumah, mareka melihat lelaki renta itu sedang bersujud. Namun sujudnya lama sekali. Para jemaah masjid mulai curiga karena sujudnya lama sekali.

Dan kembali atas kesepakatan bersama, salah seorang dari jemaah masjid menepuk pundak lelaki tua itu. Seketika tubuh rentanya pun tumbang di sajadah. Pekikan Allahu Akbar dan Innalillahi Wa Innalillahi Rojiun pun bergema menghiasi angka raya. Berkumandang hingga ke jaga raya mewarnai malam yang terang benderang itu. Bintang-bintang yang indah bertaburan di langit tujuh pun seketika memburam. Seolah ikut berduka. Kesunyian mulai menjelma malam seiring duka yang datang.

Toboali, Senin malam, 1 November 2021

Salam sehat dari Kota Toboali

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun