Halaman 6
Ku buka halaman enam. Sebuah cerpen karya Zaldy Chan ku nikmati. Jahitan narasinya sangat indah. Alur ceritanya mengalir bak air sungai citarum. Aku terbuai. Pikiranku  melayang entah kemana. Teringat tentang masa kecilku saat bermain di sungai kecil di belakang rumah yang kini telah menjelma menjadi beton-beton raksasa bisu.
Halaman 7
Suara azan dari masjid mengagetkanku. Orang-orang bersegera menuju ke sana. Meninggalkan segala pernak-pernik kesibukannya. Aku baru memulai membaca puisi  karya Taufiq Sentana yang harus segera ku biarkan tergolek sendirian dilaptopku. Aku pun bergegas menuju Masjid dengan langkah kaki yang tergesa-gesa. Sangat tergesa-gesa.
Halaman 8
Ku buka halaman delapan. Ku temui sebuah cerpen apik karya Henri Koreyanto. Ceritanya mengalun bak sebuah senandung lagu yang indah. Aku terpesona dengan alunan ceritanya. Diksinya menyihir ragaku. Menyegarkan sekujur otak kananku. Tiba-tiba perutku terasa keroncongan.
Halaman 9
Aku menjadi lapar sekali siang ini. Sebuah artikel tentang makanan yang ditulis dengan diksi apik oleh Siska Artati membuat perutku makin terasa keroncongan. Sementara cahaya matahari yang nakal masih berada tepat diatas kepalaku. Bergegas aku mencari warung dekat kantor.
Halaman 10
Tiba-tiba aku menjadi melankolis. Puisi apik yang ditulis Fatmi Sunarya membuat hatiku terkoyak-koyak. Kesedihan melanda sekujur tubuhku. Airmata mengalir dari kedua kelopak mataku. Membasahi ubin yang mulai menghitam diinjak pemakai sepatu yang berdasi. Aku termenung. Menatap cahaya matahari yang mulai menipis.
Halaman 11