Gadis kaget setengah mati. Bagaimana tidak. Tayangan program berita di sebuah televisi hampir mencopot jantungnya dari katup. Suara lelaki itu amat di kenal. Bahkan sangat dikenalnya. Demikian pula dengan wajah flamboyan lelaki di televisii itu amat dikenanya. Sangat dikenalnya.
Sementara suara teman-temannya terus bergemuruh menyaksikan tayangan acara di televisi itu. Maklum yang tampil dalam program interview itu seorang hakim terkenal yang dikenal para penegak hukum sebagai hakim yang jujur dan berintegritas. Disegani kawan dan lawan.
" Duh tampannya lelaki itu. Bangga sekali kalau punya ayah seperti itu," ujar temannya.
" Bahagianya kalau punya pacar seperti bapak itu," sela seorang temannya
" Gagah, awet muda. Tak kalah klas dengan aktor-aktor sinetron," timpal temannya yang lain.
Kekaguman dan decak kagum terus berhamburan dari mulut temannya tentang lelaki yang ada di televisi itu.
" Dermawan
" Terkenal
" Dan tentunya sangat beruntung kalau  menpunyai ayah seperti itu,"  seru teman yang lain dengan nada suara kagum.
Gadis masih terdiam. Pandangan matanya berpaling ke arah jalan. Bola matanya yang indah, sama sekali tak menatap acara di televisi. Padahal teman-temannya terus mengoceh tentang  seorang lelaki yang ada dilayar di televisi itu nada suara penuh kekaguman dan bangga bahkan mengimpikan memiliki ayah seperti lelaki setengah baya di televisi itu.
Seorang Bapak tengah baya tampak mengulurkan tangannya. Gadis merogoh dompetnya. Mengambil lembaran ribuan dan menjulurkannya kepada Bapak itu. Sebuah kalimat bernada terima kasih dilontakan Bapak itu yang dijawab Gadis dengan sebuah senyuman. Matahari makin meninggi. Cahayanya makin panas.
Gadis tak habis pikir bagaimana ayahnya yang dikenalnya sebagai lelaki yang tak berharga diri bisa dinobatkan sebagai hakim terbaik tahun ini di negara ini.
" Apakah dunia mau kiamat?," pikirnya.
Kendati hidup dalam keluarga yang bergelimangan harta dan punya kekuasaan, Gadis tetap seorang gadis yang sederhana. Gadis yang tak pernah memamerkan kekayaan harta keluarganya.Â
Gadis yang masih ke kampus naik angkot bahkan ojek. Gadis tak pernah bercerita tentang keluarganya kepada teman-temannya. Bahan Gadis satu-satunya teman mareka yang tak pernah mengajak mareka kerumahnya,
" Aku kan kost di kota ini. Jauh dari orang tua. Jadi tak bisa mengenalkan kalian dengan keluargaku," kilahnya saat teman-temannya memintanya mengenalkan keluarganya kepada mareka.
Usai makan malam bersama ayah dan ibunya di meja makan, Gadis langsung meninggalkan meja makan keluarga. Tapi ayahnya tiba-tiba memintanya untuk tidak meninggalkan meja makan.
" Ayah ingin menyampaikan kabar baik. Ayah akan dilantik jadi Hakim Agung," jelas sang ayah.
Wajah Gadis tak berubah sama sekali mendengar verita bahagia dari ayahnya. Biasa saja. Tak ada istimewanya. Beda dengan wajah ibunya yang tampak sumringah. Bahkan rona merah seolah memancar dari kerut wajah cantiknya. Sisa kecantikan yang tersisa dari seorang mantan putri Indonesia puluhan tahun silam.
" Kok kamu tak gembira mendengar berita gembira ini?," tanya sang Ibu.
Gadis langsung meninggalkan meja makan tanpa menghiraukan suara ayah dan ibunya yang memintanya tetap berada di meja makan. Gadis langsung mengunci pintu kamarnya dan mengurung diri di kamar.
Sebagai anak tentu saja Gadis bangga dengan kerja keras ayahnya. Ayah yang bijaksana. Berpendidikan tinggi. Terkenal dan dhormati orang. Pergaulannya luas. Apalagi ayahnya berprofesi sebagai hakim yang menjadi tulang punggung bangsa ini dalam menegakkan keadilan buat pencari keadilan.
Gadis teringat dengan kisah dua tahun lalu, saat dirinya baru memulai kuliah di Kota. Seorang sahabatnya terpaksa harus berhenti kuliah karena tak mampu membayar biaya hidupnya selama kuliah. Menurut cerita temannya itu ,keluarganya diperas habis-habisan oleh hakim yang menanangani perkara ayahnya yang terlibat penyalahgunaan wewenang.
" Ayah saya dijadikan ATM," keluhnya.
" Mareka selalu minta uang kepada ayah saya," lanjutnya.
" Ada-ada saja alasannya. Anaknya sakit. Anaknya minta kirim uanglah," urai temannya dengan nada keluhan yang amat memilukan.
" Bahkan menurut cerita ayah saya, anaknya mau minta dibelikan handphone saja, minta ke orang tua saya. Yah akhirnya, orangtua saya masuk penjara karena tak mampu menuruti kehendak mareka," ujar temannya sambil menutup cerita dukanya dengan suara yang amat memilukan.
Gadis hanya menarik nafas mendengar cerita itu. Dirinya seolah merasa bersalah atas kejadian itu. Â Gadis kesal karena tak bisa membantu temannya.
Cahaya alam semakin menipis. Cahaya rembulan menembus rongga setiap sudut rumah dan Kota. Sinar nakal kunang-kunang yang bertebaran di hutan kecil menmbah indah ornamen malam itu. Sebuah malam yang amat dirindukan segenap manusia. Â Sebuah malam yang amat ditunggu manusia kehadirannya.
Gadis masih berada dimeja makan. Penjelasan ayahnya tentang siapa hakim yang memeras ayah temannya kini sudah terjawab sudah.
" Ayah telah memecat hakim yang melakukan pemerasan terhadap ayah temanmu itu. Dan ayah juga telah memerintahkan uang yang dinikmati hakim itu untuk segera dikembalikan secara utuh kepada ayah temanmu," ujar sang ayah.
Gadis bahagia mendengar penjelasan sang Ayah. Senyumnya mengembang bak bunga mawar yang sedang mekar dan tumbuh di belakang rumahnya. Gadis merasa bersalah selama ini yang telah berpikiran negatif terhadap profesi ayahnya. Dan mulai detik ini dia akan mengenalkan ayah dan ibunya kepada teman-temannya.Â
Tak ada rasa malu lagi dihatinya terhadap profesi ayahnya. Ayahnya memang lelaki hebat dan patut dikagumi sebagaimana celotehan teman-temannya saat menyaksikan ayahnya di televisi.Â
"Ayah, Gadis beruntung memiliki ayah yang jujur,"gumamnya.
Toboali, 28 September 2021
Salam sehat dari Kota Toboali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H