Cerpen : Takdir Menguak Deni
Cahaya malam makin menjauh. Sejauh mimpi para penghuni bumi yang tak kunjung datang. Sinar temaram rembulan mulai terlihat enggan menyinari bumi. Rasa kantuknya mengalahkan kodratinya sebagai penerang alam semesta.
Seorang lelaki berwajah kemayu  berjalan menembus pekatnya malam. Langkahnya berlenggang lenggok bak peragawati di catwalk. Gaya berjalannya tak bisa memungkiri kodratnya. Penampilannya yang rupawan membuat diorama dirinya berubah total. Dan klakson genit dari beberapa pengendara mobil dan motor yang melintasi jalanan sepi itu masih menggoda. Sangat menggoda.  Tak satu pun yang digubrisnya. Dia harus pulang. Sementara malam makin menua seiring mulai terbangunnya mentari dari rasa lelapnya.
Sinar mentari mulai memancarkan cahaya terangnya. Alam terang benderang. Kesibukan mulai terlihat. Dijalanan para pelintas mulai beradu cepat. Di pasar, para pedagang mulai menjajakan produknya. Tak terkecuali lelaki kemayu semalam yang kini tampil dengan dandanan ala rambo.
" Kuat amat Deni. Malam kerja, siang masih kerja sebagai kuli panggul.Kayak rambo saja tenaganya,' ujar seorang temannya saat melihat Deni melintas depan warkop sambil memikul beban dipundaknya.
" Apa boleh buat. Inilah kerasnya kehidupan Kota. Anda tak tahan, jadi pengemislah dijalanan," sahut para pengopi di warkop.
" Tapi kita bangga punya teman seperti dia. Pekerja keras untuk keluarga. Peduli dengan sekitar. Soal gaya hidupkan beda-beda. Itu soal rasa," sambung Mang Masno tetangga rumah Deni.Â
Semua tercengang dengan perkataan Mang Masno. Sementara dilubuk hati Mang Masno ada rasa sesal atas ucapannya yang tak bisa diralat seperti dimedia massa.
Sudah tiga malam, Dena tak kelihatan batang hidungnya diantara para penghias malam di Taman Ligut Kota. Para teman sejawat pun mulai resah. Sejuta tanya mengelembung dalam jiwa mareka. Sejuta pertanyaan mulai mareka narasikan kepada alam.
" Kok Dena udah tiga malam nggak markir?," tanya lela.
" Sakit barangkali. Atau jangan-jangan dibooking ke puncak. Ha ha ha," jawab Manohara sembari tertawa.
" Pasti dia ngomong kalau lagi dapat bookingan. Kamu tahu kan dengan perilaku dia," jawab lela.Â
Para temannya yang menjadi penghias malam di taman Ligut pun mengamini omongan Lela. Bagi mareka Dena panggilan sexy Deni di Taman Ligut adalah seorang yang baik hati dan penolong. Banyak teman yang dibantunya. Baik dengan tenaga maupun material. Kedermawanannya sudah teruji.
Lela masih ingat bagaimana dia ditolong Dena dari serbuan maut para pemuas malam yang ingin merampok dirinya usai berkencan di bawah batang Mahoni yang ada di taman Ligut. Jangankan dapat kompensasi sebagai pemuas nafsu, tas Lela hampir saja dibawa kabur lelaki hidung belang itu saat lela masih asyik mengemas diri.Â
Dan tanpa disangka Dena datang saat lelaki bejat itu hendak lari. Dengan sekali hadangan, lelaki itu pun tumbang. Saat hendak bangkit, sebuah tendangan ala Bruce lee dari Dena mendarat di perut lelaki itu hingga terdorong beberapa meter. Tepat di lokasi dia bermesum ria. Dibawah batang mahoni.
Bukan hanya lela.Â
Manohara pun pernah menikmati kebaikan Dena saat dirinya memerlukan uang untuk membayar biaya rumah sakit Ibunya. Dengan bantuan Dena, Manohara bisa bernafas lega karena sebagian biaya Ibunya di rumah sakit berasal dari Dena yang dapat ikan besar malam itu. Ya, seorang lelaki tua berkantong tebal.
Bukan hanya sejawat di taman Ligut yang kehilangan Dena dalam tiga hari ini. Para tetangga pun mulai kehilangan sosok dermawan. Dikalangan tetangga, Deni adalah warga yang suka menolong dan dermawan. Sudah banyak tetangga yang menikmati budi baiknya.
" Tuh orang baik banget. Aku berhutang budi kepada Nak Deni. Kalau nggak ada dia, tidak tamat sekolah anakku," cerita Mpok Liza.
" Aku juga. Waktu bapak anak-anak masuk rumah sakit, dia yang bantu biaya berobatnya. Kalau nggak ada dia, sudah koit barangkali bapaknya anak-anak," sambung Mpok Hindun.
Usai sholat Isya, beberapa perwakilan warga mendatangi rumah Pak RT. Pak RT terkaget-kaget didatangi warganya. Kain sarungnya pun hampir melorot. Dan dengan sigap diangkatnya, usai mendapat kedipan dari istrinya.
" Apa yang bisa saya bantu saudara sekalian?," ujar Pak RT.
" Deni Pak RT. Sudah beberapa hari ini tak keliahatan di kontrakannya. Kami sebagai warga khawatir dengan dia. Maklumlah Pak RT. Ah..Pak RT sudah pahamlah," ungkap perwakilan warga.
" Saya sudah mendengar berita itu dari beberapa warga saat di masjid tadi. Intinya kita harus bersama-sama cari informasi dimana dia berada. Dia warga yang baik," ujar Pak RT.
" Dan tolong sampaikan kepada semua warga, kalau ada info tentang Deni mohon segera kabari," sambung Pak RT.
Di kampung Seberang, para warga terkaget-kaget saat hendak sholat Magrib di Masjid, mendapati sesosok tubuh manusia sedang sujud. Lama sekali. Atas kesepakatan bersama, para jemaah masjid akhirnya memberanikan diri untuk menegur. Saat disapa, tak ada suara jawaban. Dan kekagetan para jamaah masjid bertambah saat mengetahui lelaki itu telah wafat.Â
Narasi sakral Innalillahi Wainnalihi Rojiun pun menggemakan. Menghias malam yang bercahaya. Relegiuskan semesta. Sebuah kartu pengenal yang terselip di kantong baju lelaki tadi menyatakan bahwa dirinya adalah Deni alias Dena.
Malam makin merenta. Suara zikir dari para jemaah masjid terus bergemuruh. Sakralkan langit. Sakralkan alam. Dan sakralkan jagad raya.
Toboali, Kamis malam yang indah, 2 Sepetember 2021
Salam sehat dari Kota ToboaliÂ
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI