Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Nasionalisme yang Tergadaikan

17 Juni 2021   07:38 Diperbarui: 18 Juni 2021   14:09 859
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar Animasi: pngdownload.id

Lembayung sutra menelungkup didalam awan biru. Tanda senja akan datang. Kelelawar mulai mencari dahan untuk berlindung. 

Disebuah lapangan sepakbola Kampung, lelaki itu masih asyik dengan kesendiriannya. Memandang ke arah lapangan bola yang rumputnya bersih karena disering dimakan sapi. Sebuah tembakan dari jarak jauh yang dilontarkan seorang pemain yang sedang berlatih, mencengangkannya. Tendangan yang pernah menjadi simbol  dirinya.

" Ah,sudahlah," desisnya sambil meninggalkan arena lapangan sepakbola Kampung yang pernah membesarkan namanya hingga menjadi seorang pesepakbola yang terkenal.

Usai magrib, seperempat penduduk negeri ini sedang berada di depan tipi. Malam ini team Nasional sepakbola negeri ini, akan bertarung dibabak final melawan negara Tirai bambu. Sebuah pertarungan yang amat prestise. Pertarungan hidup mati.

" Kalau dalam sektor ekonomi kita sudah kalah, mudah-mudahan dalam sektor olahraga khususnya sepakbola, kita akan juara dan mengeskalasi harkat dan martabat bangsa," ulas seorang komentator televisi. 

" Karena olahraga khususnya sepakbola merupakan alat perjuangan juga. Mengangkat merah putih di kancah internasional," sambungnya dengan narasi berapi-api.

Matdulah hanya menelan ludah mendengar suara komentator itu. Pandangan matanya menatap ke arah luar rumahnya. Sepi. Tak ada aktivitas. Tak ada lalulalang orang. Tak ada sama sekali. Orang-orang sibuk di depan televisi. Mendukung Timnas sepakbola yang sedang bertarung mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah internasional.

" Nasionalisme? Itu hanya untuk orang kecil saja. untuk orang berkuasa itu santapan pagi mareka," desisnya.

Sebagai pemain sepakbola yang pernah memakai seragam Merah Putih, Matdulah bangga. Maklum pemain Timnas adalah pemain pilihan dari sekian ratus juta penduduk negeri ini. Persaingan masuk dalam skuat Timnas amat ketat dan sarat persaingan yang kompetitif antar pemain. Tak semua pesepakbola bernasib baik bisa menjadi pemain Timnas. Berlaga dilapangan hijau dengan garuda didada. Diriuhi tepuk ratusan ribu penonton yang memadati stadion. Dan tentu saja ekspos pemberitaan yang sangat luar biasa dari berbagai media yang membuat semua rakyat di negeri ini hafal wajah dan nama pemain Timnas.

Matdulah teringat waktu pertama kali memeprkuat Tim sepakbola Nasional. Selain dipenuhi rasa grogi, garuda di dada yang ada dalam kostum Timnas membuat suasana hatinya kacau balau saat  pelatih menetapkan nama dalam daftar 11 pemain utama atau line up yang akan diturunkan sebagai pemain inti. Pemain yang berposisi sebagai playmaker itu masih ingat dengan wejangan dari pelatih, terutama sang manejernya.

" Kalian adalah patriot bangsa. Kalian harus  bangga berlaga dilapangan hebat dengan kostum hebat yang berlambangkan garuda. Apakah kalian semua siap membela merah putih," tanya sang manager dengan suara lantang.

" Siap,' teriak Dullah dan rekannya dengan semangat 45 yang amat membara. 

Tak heram dalam pertandingan eksebisi itu Timnas menghajar Timnas Negeri Sakura dengan skor telak 3-0. Matdullah menjdi pemain terbaik lewat assistnya yang mampu diselesaikan striker Timnas haus gol ke gawang negeri Sakura. Dan besoknya Matdullah terkejut aksinya dilapangan hijau menghiasi halaman suratkabar Ibukota. Dalam waktu seketika,Matdullah pun menjadi idola. Pemilik klub klas top memburunya untuk membela klub mareka. Harga jual Matdullah sebagai pemain sepakbola terangkat ke langit. Menjadi pemain dengan rekor harga termahal.

Malam itu adalah pertandingan final Piala Asia Pasific. Timnas sukses meraih tiket ke Final dan siap tempur untuk menghadapi Timnas negara gajah Putih. Sejuta asa telah terpatri dalam jiwa para pemain. Inilah momentum  bagi semua pemain Timnas untuk menunjukkan klas mereka sebagai pesepakbola klas dunia.

" Kita harus tunjukkn kepada dunia, bahwa kita adalah tim  hebat dan tim yang ditakuti lawan," pesan Sang pelatih.

" Siap," teriak Matdullah dan kawan-kawan dengan narasi membara.

" Saatnya kita menang dan menang," seru sang pelatih memompa semangat pemainnya.

" Siap menang," teriak pemain timnas bergemuruh dalam ruang ganti pemain.

Itulah kenangan manis dan terakhir Matdullah bersama timnas diarena persepakbola nasional. Matdullah bahagia sekali. Airmatanya selalu meleleh membasahi pipinya kalau mengenang peristiwa heroik 2x45 menit itu. 

Bagaimana tidak, disaat injury time, disaat wasit hendak meniupkan peluit, tendangan kerasnya dari luar kotak pinalti mampu menggetarkan jala gawang Timnas Gajah Putih yang dikawal pemain klub dunia Barcelona. Tendangan keras ke pojok kiri gawang membuat skor berubah menjadi 1-0. Dan timnas juara Piala Asia Pasific untuk pertama kalinya. Sambutan terhadap para pemain pun sangat luarbiasa saat tiba di tanah air. Presiden pun memberi waktu untuk bertemu dan sekedar makan siang bersama bersama pemain Timnas.

Dan usai pertandingan itu, Dullah sering mendapat teror dari orang-orang yang tak dikenalnya. Dulah pun tak pernah lagi dipanggil Timnas. Apalagi semenjak sang pelatih mengundurkan diri, Dullah tak pernah lagi dipanggil dalam Pelatnas. Bahkan diklubnya sendiri, Matdullah jarang dimainkan 90 menit. Pemain berkostum nomor punggung 10 itu lebih banyak dibangku cadangan.

" Sekarang kamu baru tahukan, siapa sebenarnya penguasa sepakbola itu. Kami, bukan kalian para pemain. Tanpa kami kalian hanyalah pemain kampung tak dikenal orang dan dunia. Kami yang membuat kalian terkenal dan hebat. Tapi kamu membantah dan mementingkan Tim dan nama baik bangsa. sekarang kamu terima akibatnya," ujar seseorang lewat telepon genggamnya. 

Suara itu amat dikenal. sangat familiar dengan Dullah dan kawan-kawan di Timnas. Suara yang selalu menggelegar di ruang ganti. Suara yang selalu menyuarakan nasionalisme didada para pemain. Suara yang selalu melecutkan nafas nasionalisme dalam setiap pergerakan pemain di lapangan hijau.

Matdullah terbangun. Suara istrinya menggagetkannya dari mimpinya. Televisi pun sudah mati. Tak ada lagi gambar pemain yang mengejar bola dilapangan. Tak ada sama sekali.

" Ayo cuci muka. Kita makan sahur. Ntar telat lagi. Anak-anak sudah siap dimeja makan," ujar istrinya.

Dengan mata yang masih berat, Matullah pun menyegerakan diri ke kamar mandi. Bukan hanya sekedar mencuci muka, tapi berwudhu dan bersiap melangkah ke mesjid untuk menunaikan sholat subuh usai makan sahur bersama keluarganya.

Toboali, Kamis pagi, 17 Juni 2021

Salam sehat dari Toboali

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun