Lembayung sutra menelungkup didalam awan biru. Tanda senja akan datang. Kelelawar mulai mencari dahan untuk berlindung.Â
Disebuah lapangan sepakbola Kampung, lelaki itu masih asyik dengan kesendiriannya. Memandang ke arah lapangan bola yang rumputnya bersih karena disering dimakan sapi. Sebuah tembakan dari jarak jauh yang dilontarkan seorang pemain yang sedang berlatih, mencengangkannya. Tendangan yang pernah menjadi simbol  dirinya.
" Ah,sudahlah," desisnya sambil meninggalkan arena lapangan sepakbola Kampung yang pernah membesarkan namanya hingga menjadi seorang pesepakbola yang terkenal.
Usai magrib, seperempat penduduk negeri ini sedang berada di depan tipi. Malam ini team Nasional sepakbola negeri ini, akan bertarung dibabak final melawan negara Tirai bambu. Sebuah pertarungan yang amat prestise. Pertarungan hidup mati.
" Kalau dalam sektor ekonomi kita sudah kalah, mudah-mudahan dalam sektor olahraga khususnya sepakbola, kita akan juara dan mengeskalasi harkat dan martabat bangsa," ulas seorang komentator televisi.Â
" Karena olahraga khususnya sepakbola merupakan alat perjuangan juga. Mengangkat merah putih di kancah internasional," sambungnya dengan narasi berapi-api.
Matdulah hanya menelan ludah mendengar suara komentator itu. Pandangan matanya menatap ke arah luar rumahnya. Sepi. Tak ada aktivitas. Tak ada lalulalang orang. Tak ada sama sekali. Orang-orang sibuk di depan televisi. Mendukung Timnas sepakbola yang sedang bertarung mengangkat harkat dan martabat bangsa di kancah internasional.
" Nasionalisme? Itu hanya untuk orang kecil saja. untuk orang berkuasa itu santapan pagi mareka," desisnya.
Sebagai pemain sepakbola yang pernah memakai seragam Merah Putih, Matdulah bangga. Maklum pemain Timnas adalah pemain pilihan dari sekian ratus juta penduduk negeri ini. Persaingan masuk dalam skuat Timnas amat ketat dan sarat persaingan yang kompetitif antar pemain. Tak semua pesepakbola bernasib baik bisa menjadi pemain Timnas. Berlaga dilapangan hijau dengan garuda didada. Diriuhi tepuk ratusan ribu penonton yang memadati stadion. Dan tentu saja ekspos pemberitaan yang sangat luar biasa dari berbagai media yang membuat semua rakyat di negeri ini hafal wajah dan nama pemain Timnas.
Matdulah teringat waktu pertama kali memeprkuat Tim sepakbola Nasional. Selain dipenuhi rasa grogi, garuda di dada yang ada dalam kostum Timnas membuat suasana hatinya kacau balau saat  pelatih menetapkan nama dalam daftar 11 pemain utama atau line up yang akan diturunkan sebagai pemain inti. Pemain yang berposisi sebagai playmaker itu masih ingat dengan wejangan dari pelatih, terutama sang manejernya.
" Kalian adalah patriot bangsa. Kalian harus  bangga berlaga dilapangan hebat dengan kostum hebat yang berlambangkan garuda. Apakah kalian semua siap membela merah putih," tanya sang manager dengan suara lantang.