Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Berita Duka dari Dapur Suami

11 Juni 2021   04:24 Diperbarui: 11 Juni 2021   04:41 534
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gendeng merebahkan badannya di ranjang. Badannya terasa sangat berat bahkan terasa sangat berat sekali  usai bekerja dari mulai subuh tadi. Baru kali ini dia merasakan kepenatan yang luar biasa dari sekujur tubuhnya. Baru kali tubuhnya menerima beban itu. Sebuah adaptasi yang baru dalam siklus anatomi badannya. Rebahan badannya ke kasur setidaknya bisa memulihkan kondisi tubuh untuk kembali bekerja seiring terbangunnya mentari pagi dari mimpi panjangnya. Seiring dengan koor suara kokok ayam yang akan mewarnai suara jaga raya.

Kadang terpikir dalam otak cerdasnya untuk segera pergi dan meninggalkan rumah yang kini mulai menjadi neraka dunia. Namun Gendeng teringat dengan ayah dan ibunya yang tinggal di Kampung. Kedua orangtuanya sangat menyanyangi sang istrinya. Bahkan kedua orangtuanya pula yang menjodohkan dirinya dengan sang istri saat dirinya masih kuliah di Kota.

Entah apa yang menjadi dasar pemikiran ayah dan ibunya sehingga rela menjodohkan dirinya dengan sang istri. Padahal dirinya saat itu telah memiliki calon pendamping hidup.
" Tak mungkin kami sebagai orang tuamu ingin menjerumuskanmu. Tak mungkin Nak," kata orangtuanya saat mareka menceritakan rencana perjodohan dirinya dengan sang istri belasan tahun lalu silam.

" Iya Nak.  Selama ini dia sudah banyak membantu kita dan kamu," sambung ayahnya.
" Maksud Ayah selama ini dia yang mengirimi biaya hidup saya selama kuliah?," tanya Gendeng dengan nada suara tanya setengah tak percaya.

Ayah dan ibunya tak menjawab dengan suara. Anggukan kepala dari keduanya telah memberi jawaban. Dan Gendeng hanya menundukkan kepalanya. Tak mungkin menyesali apa yang telah terjadi. Tak mungkin sama sekali. Menolak untuk dijodohkan dengan wanita pilihan orang tuanya sama saja dengan melukai hati kedua orang tuanya. Dan Gendeng paham, bagaimana resikonya melawan orang tua. Bukan hanya soal legenda Malin Kundang. Tapi ada dalam ayat suci sebagaimana yang sering dia dengar dari ceramah para Ustad.

Istrinya menjerit. Jeritannya terdengar hingga ke Kota.  Menyelusup ke rongga-rongga dada para warga. Mengapung dalam ruang perbincangan Kota yang penuh kecurigaan dan sarat makna. Jeritan yang sangat memilukan. Jeritan yang sarat butuh pertolongan dengan segera. Jeritan yang menggambar sebuah kesedihan yang teramat dalam dari seseorang. Sebuah jeritan dari seseorang yang telah ditinggalkan seseorang yang amat disayanginya, dengan cara yang berbeda.

Toboali, jumat barokah, 11 Juni 2021

Salam sehat dari Toboali 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun