Cerpen: Rahim  Berbunga DukaÂ
Laki-laki itu tidak bisa menyembunyikan amarahnya. Raut wajahnya memerah berbungkus emosi. Suaranya meninggi. Mengejutkan malam yang temaram. Dengus anjing hutan pun terhenti mencari mangsa.Â
"Saya tidak akan pernah bertanggungjawab atas benih yang ada dirahimmu. Dengarkan itu. Camkan itu baik-baik wahai wanita jalang," teriak laki-laki itu kepada seorang wanita.Â
Cahaya rembulan sangat temaram seakan-akan merasakan kesedihan wanita itu. Narasi lelaki muda itu seaolah menghantam ulu hati Anya. Sebuah narasi yang sangat merendahkan martabatnya sebagai wanita.
"Kamu memang bukan lelaki sejati. Saya salah sangka," ujar wanita muda yang bernama Anya dengan nada sinis.
"Coba kamu bertanya kepada dirimu. Siapa saja lelaki yang telah menebar benih dirahimmu? Katakan. Bukan cuma akau saja kan? Ada Pimpinanmu. Lantas kenapa engkau tidak meminta pertanggungjawaban kepada dia, lelaki tua bangka itu? Kenapa harus aku?" tanya lelaki muda itu dengan nada yang kembali meninggi.
"Kenapa cuma aku yang harus kamu mintai pertanggungjawabannya," lanjut lelaki muda itu dengan nada setengah bertanya sembari meninggalkan Anya yang masih bertahan bersama airmatanya yang mengalir dari kelopak matanya yang bening.
Anya kini baru tersadar dari mimpi panjangnya tentang derap kehidupan yang nyata. Tentang kehidupan yang hakiki sebagaimana yang pernah didengarnya dari mulut Ibunya. Wanita periang itu tidak menyangka benih yang ditanamkan lelaki yang amat dicintainya kini harus berbuah duka yang berkepanjangan.Â
Anya baru menyesal mengapa dia dulu begitu mudah tergoda dengan diksi manis lelaki itu sehingga malam yang bening itu dia rela menyerahkan kehormatan dirinya sebagai wanita kepada lelaki bajingan itu yang dulu kerap diasumsikannya sebagai lelaki jantan.
Anya masih ingat bagaimana saat itu cahaya rembulan yang indah menjadi saksi kehangatan yang dia berikan kepada lelaki itu yang melululantakan seluruh sendi raganya. Malam yang sangat rupawan itu menjadi saksi dirinya mensahwati lelaki itu dengan iklas.Â
Dia berusaha memberikan semua raganya hingga tulang-tulangnya terasa gemertak di tengah derasnya deru nafas lelaki muda itu mengkuliti dirinya hingga terlelap. Dirinya beberapa kali harus memekik dan merintih melawan kencangnya nafsu birahi syahwati lelaki muda yang menggelora dan berlari kencang bak kuda.
"Apakah dinda ikhlas atas semuanya," tanya lelaki muda itu usai melampiaskan dengus birahinya dimalam yang bening .
"Sangat ikhlas, Mas. Semua ini kuberikan sebagai bukti cintaku kepadamu," jawab Anya yang masih tergolek lemah.
Dan Anya sangat tidak menyangka sama sekali, usai menumpahkan sahwati mareka sebagai manusia dewasa, lelaki muda itu sudah jarang mengontaknya. Bahkan untuk bertemu pun sulit. Ada-ada saja alasan yang diberikannya. Jutaan alasan dilontarkannya hingga terdengar ke jagad raya tanpa malu.
"Saya sedang rapat," jawabnya setiap kali Anya mengontaknya.
Dan kata rapat itu selalu menjadi jawaban sakti lelaki muda itu saat Anya menagih janjinya. Anya makin terjerumus kedalam kehidupan yang makin ganas di rimba dunia yang mulai tak bertuan humanisme dan mementingkan egoisme pribadi, ketika pada suatu acara dirinya yang saat itu diminta Pimpinan Kantornya untuk menemaninya dalam sebuah acara bertemu dengan lelaki muda itu.Â
Wajah lelaki muda itu menampakkan kekecewaan. Senyum yang selama ini menjadi ciri khasnya hilang dimakan mimik wajahnya yang kesal. Tegur sapa pun nyaris tak ada. Yang muncul dengus suaranya bak dengusan anjing hutan yang sedang menatap mangsanya di rimba. Penjelasan Anya tentang apa yang terjadi tak didengarnya.
"Saya diminta pimpinan kantor untuk mendampinginya, Mas. Ini acara kantor. Mohon mengerti," ungkap Anya dengan suara sedih. Tapi lelaki muda itu tak mengubris ungkapan dari Anya, Malahan sejuta narasi buruk dilontarkannya kepada Anya.
"Rupanya kamu sudah kesangsem juga dengan lelaki duda itu, ya," ungkap lelaki muda dengan diksi sinis.
Anya harus mengakui bahwa Pimpinan Kantornya yang duda itu memang menaruh cinta kepadanya. Semua pegawai di Kantornya tahu itu. Dan bukan rahasia umum lagi. Tapi bagi Anya pimpinan Kantornya sudah dianggapnya sebagai orang tuanya. Dan sudah beberapakali ajakan Pimpinan Kantornya untuk hidup bersama ditolaknya.
"Saya sudah punya kekasih hati, Pak. Mohon dipahami. Bapak sudah saya anggap sebagai orang tua saya," jelas Anya.
Wajah Pimpinan Kantornya pun berubah mendengar penjelasan Anya. Ada rasa kecewa atas penolakan Anya.
Kini Anya harus berjuang sendiri terhadap benih di rahimnya yang makin membesar. Tekadnya sudah bulat untuk membesarkan buah hati dengan kesendiriannya. Walaupun godaan untuk membuangnya selalu saja menghantui pikirannya.
"Mohon maaf, lho Mbak. Ada orang yang bisa membuang janin itu," saran temannya.
"Terima kasih atas sarannya. Saya akan tetap melindunginya hingga lahir dan membesarkannya biar menjadi manusia yang baik. Dia berhak hidup," jawab Anya.Bahkan saat Pimpinan Kantornya ingin bertanggungjawab, Anya pun menolaknya.
"Ini bukan benih Bapak. Tak pantas Bapak mengakuinya," jawab Anya yang membuat Pimpinan Kantornya harus menjauh dirinya seribu langkah.
Anya terus berjalan menatap waktu menantang hari menunggu lahirnya buah kasih hatinya. Dia berjanji akan membesarkan buah hatinya seorang diri dengan kasih sayangnya sebagai wanita sejati. Dan akan diajarkannya kepada buah hatinya tentang kesejatian diri sebagai manusia. Bukan seperti lelaki yang telah menanam benih dirahimnya yang pergi untuk melepas tanggung jawabnya sebagai penebar benih tanpa malu.Â
Toboali, rabu, 26 Mei 2021
Salam sehat dari Kota Toboali
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H