Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Lelaki Tua di Kampung Kami

25 Februari 2021   16:58 Diperbarui: 25 Februari 2021   17:04 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Cerpen : Lelaki Tua di Kampung Kami

lelaki itu sudah sangat tua. Usianya sekitaran diangka 70 sampai 80 tahunan. Bahkan ada warga kampung yang bercerita usia Pak Tua lebih tua dari usia Kampung Kami.

" Sebelum ada Kampung kita ini, Pak Tua sudah tinggal disini," cerita seorang warga kampung Kami.

Dan tak mengherankan banyak orang yang datang ke rumahnya. tamu yang berkunjung ke rumah mengalir deras. Terutama di musim pemilihan. Padahal Pak Tua mengaku bahwa dirinya bukan dukun dan tukang ramal.

" Maaf, saya bukan dukun. Apalagi tukang ramal," ungkapnya.

Warga tak begitu saja percaya. Mereka menganggap Pak Tua sebagai orang pintar yang mampu merubah kondisi kehidupan seseorang. Entah siapa yang memulainya, rumah Pak Tua sejak beberapa tahun terakhir selalu ramai dikunjungi warga. Bukan hanya warga kampung Kami, ada juga yang datang dari luar Kota. Mereka rela menghabiskan waktu berjam-berjam untuk mencapai kampung Kami, hanya untuk ketemu dengan Pak Tua. Sementara untuk menemui Pak Tua, waktu antri pun sangat panjang. Bahkan hingga subuh. Terkadang pagi baru bisa ketemu Pak Tua.

Pagi itu, Pak Tua bersila di tempatnya yang biasa. Sebuah kotak persegi empat yang terbuat dari papan ikut mendampinginya. Dan sudah menjadi kelaziman, usai bertemu pak Tua, para tamu menyisipkan sesuatu ke dalam kotak kayu itu. Tamu sangat ramai. halaman depan rumahnya penuh sesak dengan warga yang datang. Pak Tua mengintip dari lubang rumahnya yang tua yang terbuat dari kayu yang sudah banyak terkelupsa.

Pak Tua menatap langit-langit rumahnya. Ada sebuah lubang yang mengangah. Sinar matahari menyinarinya dengan sinar keemasan. lelaki tua menyeka keringat di dahinya. Pak Tua semakin heran bahkan terkadang bingung, bagaimana dirinya yang sudah tua ini, tiba-tiba dihormati orang?. Didatangi banyak orang. Pak Tua juga sangat bingung, kenapa dirinya tiba-tiba dihormati orang? Apakah karena narasi yang keluar dari mulutnya bijaksana atau karena dirinya sudah tua?.

Belasan tamu datang. Pak Tua mengulurkan tangannya untuk diletakkan di dahi tamunya. Tamu yang datang duduk di depannya yang bersila diatas tikar. Pak Tua terdiam. Menatap tajam wajah mereka. Ada kesedihan yang terpancar dimata tuanya Pak Tua. Tamu-tamu yang bersila di depannya tak berani menatap wajah Pak Tua.

" Begitu kita menatap wajah Pak Tua, seketika kita langsung roboh," cerita seorang warga.

" Itu pengalaman saya. Saya mau mengobati istri saya, malah saya yang jatuh sakit. Cuma gara-gara saya menatap wajah Pak Tua," sambung seorang warga.

Sudah hampir setengah jam, para tamu yang duduk bersila dihadapan Pak Tua dengan wajah tertunduk tidak mendengar apa pun dari mulut tua Pak Tua. tidak sepatah kata pun yang keluar dari mulut Pak Tua. Pak Tua hanya terdiam. Sementara keringat terus mengucur dari dahinya. Getaran di dadanya turun naik. Para tamu terus menunggu dan menunggu. Sementara yang diluar terus menunggu giliran untuk. Tamu terus mengalir dengan sangat deras. Antrian semakin panjang.

" Kok lama sekali ya," ujar seorang warga.

" Huss...Tutup mulutmu. Apakah engkau siap menerima resiko dari omonganmu," ujar seorang tamu yang telah lama mengantri sejak subuh. lelaki itu terdiam. Wajahnya pucat pasi. Ada ketakutan yang mengalir dari sekujur tubuhnya. Keringat mengucur deras dari keningnya.

Tiba-tiba dari dalam rumah, terdengar suara gaduh, Orang berteriak. Para tamu berhamburan keluar dengan wajah diliputi ketakutan dan ketegangan yang luarbiasa yang belum pernah mereka rasakan selama hidupnya.

" Pak Tua sudah meninggal." ujar seorang tamu dari dalam rumah.

Suara sakral pun meluncur dari mulut para tamu. Lantunan ucapan sakral Innalillahi Wainnalillahi Rojiun bergema dengan religius. Menggemuruhkan angkasa. Menembus langit biru.

Toboali, kamis, 25 Februari 2021

Salam dari Kota Toboali, Bangka selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun