" Bukankah apa yang selama ini bergema di ruang publik tentang kiprah Bapak terhadap Pak Pimpinan memang tak terbukti? Bukankah Bapak tak pernah menjadi sumber kekuatan Pak Pimpinan? Hanya narasi pencitraan itu yang menggambarkan  seolah-olah Bapak  menjadi sumber kekuatan Pak Pimpinan. Realitanya kan tidak demikian. Dan itu terpantau dengan jelas oleh mata publik. Tak samar-samar. Tak bisa direkayasa. Fakta tentang kiprah Bapak selama ini telah terlihat dengan sangat jelas di mata publik. Tak bisa dijawab dengan narasi dan narasi," urai bawahannya dengan gamblang.Â
Mendengar paparan bawahannya, Pak Alok cuma terdiam seribu bahasa. Tak ada lagi narasi bersemangat yang selama ini menjadi ciri khas dirinya. Tak ada lagi. Mulutnya seolah terkunci. Taka ada lagi yang patut dinarasikannya. Semua pintu fakta telah terbuka dengan sangat lebar. Semua jendela kepalsuan tak dapat ditutupinya dengan rapat-rapat. Pak Alok tak dapat membayangkan bagaimana citra dirinya di muka publik. Stigma hitam pasti telah tertancap dalam jiwa mereka tentang dirinya.Â
Kini hanya kepasrahan yang menjalari seluruh tubuh ambisi Pak Alok. Hanya kepasrahan yang mengalir dalam tubuhnya. Hanya kepasrahan yang mengalir dalam darah raganya. Hanya itu saja. Â Tak ada yang lain. Sama sekali tak ada.
Sekelompok burung Camar mulai ramaikan cakrawala. Menghias langit yang mulai gelap. Â Sebuah tanda senja akan tiba. Sementara cahaya matahari mulai berselimut di ujung barat alam raya semesta ini. (Rusmin)
Toboali, 1 Februari 2019Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H