Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Saksi Mata

1 Februari 2019   13:11 Diperbarui: 1 Februari 2019   16:47 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Semua terdiam mendengar narasi berbalut kebenaran itu. Tak ada yang membantah. Ruangan menjadi hening. Sunyi senyap. Sesenyap narasi yang mulai layu ditelan fakta yang terjadi. 

###

Publik kaget setengah mati. Pak Alok tak dipromosikan ke dinas yang mereka inginkan. Dan yang Pak kehendaki.  Pimpinan dengan tegasnya justru menurunkan Pak Alok ke jabatan yang lebih rendah dari  amanah yang kini dibebankan kepadanya. Pak Alok terkulai disudut ruang kerjanya yang artistik. Para follower lemas setengah mati. Narasi pencitraan yang mereka gaungkan ke ruang publik gagal. Bahkan mereka kini mendapat sorotan dari publik.

" Ternyata mereka itu yang selama ini menyusun narasi pencitraan tentang Pak Alok ke ruang publik seolah-olah Pak Alok hebat dan berprestasi bagi daerah ini," ujar seorang pengunjung warung kopi.

" Kok kamu baru tahu. Berarti selama ini kamu terbius dengan narasi mereka di warkop ini tentang Pak Alok, ya?," tanya seorang pengunjung warkop kepada temannya.

" Saya kan cuma mendengar apa yang selalu mereka narasikan di warkop ini. Saya pikir faktanya demikian," jawabnya.

" Pada era digital seperti sekarang ini, narasi tentang pencitraan bisa didesign. Bisa direkayasa.  Tapi satu hal yang tak bisa direkayasa. Itu yang bernama fakta. Fakta kebenaran tak akan mampu kita rekayasa dengan cara apapun," urai temannya. 

Sinar matahari mulai terasa panas. Cahayanya menembus dinding ruangan Pak Alok yang berpendingin. Pendingin ruangan bermerk terkenal itu tak mampu mendinginkan jiwa Pak Alok yang terkulai. Lemas ditelan ambisi tanpa prestasi. Narasi pencitraan yang didesignnya selama ini terbuka dengan sangat lebar lebarnya hingga mengaliri darah di tubuh warga. Dan publik mulai mencium aroma narasi berbayar itu.  Para follower pun mulai meninggalkannya secara diam-diam. Tak mampu melawan suara publik yang datang ke arah mereka secara tiba-tiba tanpa ampun.

" Siapa yang membuka aib ini," tanya Pak Alok kepada bawahannya. " Siapa yang membuak stigma ini ke publik," lanjutnya dengan nada suara penuh berbalutkan kecurigaan.

" Bapak sendirilah," jawab bawahannya dengan nada suara enteng.

" Lho kok saya," tanya Pak Alok dengan penuh keheranan dengan jawaban bawahannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun