Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu bergema hingga ke cakrawala. Menembus tebalnya awan. Gemanya kencang sekali. Bergaung keras hingga angkasa biru. Menyusuri kaki-kaki langit. Menyusup hingga ke bumi. Bergulir kencang bak meteor. Dimangsa perilaku zaman yang makin kehilangan peradaban. Menembus dinding-dinding hati penghuninya yang kering kerontang. Siap tersulut bara. Siap menebar api.
Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu terus bergulir dan bergulir tanpa arah bak bola liar. Menembus hutan. Menyeberangi lautan. Melewati sungai hingga tiba di peradaban yang katanya berbudi luhur. Â Menembus jantung mereka yang tertidur tanpa masa depan. Menembus jiwa mereka yang berbudi. Menembus akal mereka yang berada di puncak kehidupan hingga menembus kegelapan malam yang bening.
Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu seakan-akan ingin memangsa tanpa malu. Mengaum keras bak suara harimau lapar yang siap menerkam mangsanya. Menetes dalam nurani para penghuni bumi tanpa kontrol. Mengikat dalam sanubari hingga mengakar ke dalam sekujur tubuh tanpa mampu dibendung. Akal mulai kehilangan jati dirinya. Kemanusiaan hanya tinggal slogan. Emosi telah membakar jiwa tanpa kendali.
Narasi berupa cerita tentang sesuatu telah merasuk ke dalam jiwa para penghuni bumi. Mereka, para kaum penggelisah mulai dimangsa oleh narasi tentang sesuatu itu. Mereka, mulai terbuai dengan narasi berupa cerita tentang sesuatu itu yang mereka klaim sebagai sebuah kebenaran baru yang wajib di perjuangkan. Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu mulai menyusup ke seluruh aliran darah dalam tubuh mereka yang putus asa dan mencari identitas diri. Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu mulai berkobar dengan suara bergemuruh dalam sanubari miskin mereka. Narasi berupa cerita tentang sesuatu itu  seolah dianggap sebagai sebuah dogma baru yang harus diperjuangkan dengan semangat membara.
" Kalau bapak-bapak semua bersikap bak menelan obat tanpa resep dokter, bukan justru membuat tubuh menjadi sehat, namun membuat tubuh kita menjadi lemah dan sensitif terhadap isu yang berkembang biak. Ini baru katanya. Belum terbukti. Tidak ada faktanya. Bisa-bisa kita sesama warga memangsa kita sendiri," terang Pak Kades saat melihat warga berkumpul di halaman rumahnya dengan wajah-wajah penuh keberingasan. Wajah-wajah yang dikendalikan emosi
" Tapi Pak Kades, suara itu terus berbunyi kencang menembus jiwa kami. Merongrong nurani kami," sergah seorang warga dengan nada suara emosi.
" Benar. Pertanyaannya apakah suara yang berbunyi kencang dalam nurani itu mengandung sebuah kebenaran? Apakah suara hati yang berbunyi kencang di dalam jiwa kita itu mengandung  kebenaran? Perlu kita uji dengan mencari sumber suara itu dan mengecek kebenarannya," jawab Pak Kades setengah bertanya.Â
" Pak Kades jangan membela suara yang salah. Pak Kades harusnya membela kami yang telah memilih Pak Kades sehingga bisa mengemban amanah ini," sahut warga yang lain dengan suara tinggi.
" Saya tidak membela siapapun. Sebagai pimpinan di Desa ini saya berkewajiban membela kebenaran. Bukan mengikuti suara jiwa palsu yang berbunyi kencang yang ditiupkan para penebar hoax," jawab Pak Kades.
" Hoax,?" tanya para warga dengan suara serempak dengan penuh tanda tanya
" Iya. Hoax. Berita palsu yang ditiupkan para penutur palsu untuk memecah bela kita sebagai warga Desa. Dan ini sudah mewabah hingga ke pelosok-pelosok," ungkap Pak Kades. " Dan kita sebagai warga harus selalu waspada dengan berita hoax ini. Filter sebuah informasi yang datang. Jangan ditelan mentah-mentah dan disebarkan," lanjut Pak Kades.