Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ada Duka dalam Sesendok Madu Macan

4 Januari 2017   11:41 Diperbarui: 29 Januari 2019   01:25 419
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lelaki itu akhirnya tak mampu menghalangi hasrat wanita penyanyi itu untuk hijrah ke Kota. Dengan segumpal harapan menaklukan dunia Kota yang ganas, mareka mulai mengarungi kerasnya aliran air kehidupan di Kota. Kenikmatan kehidupan Kota masih terasa dalam sebulan pertama. Masih sangat terasa nikmat. Apalagi beberapa kali wanita itu masih sempat manggung di beberapa pertunjukan musik klas kawinan  di pinggiran Kota yang masih bersahabat dengan hijaunya sawah.

" Semoga ini awal yang baik,Mas buat kita berdua. Dan impianku untuk menjadi penyanyi terkenal menjadi kenyataan," ujar Wanita itu dengan nada penuh optimisme.

Kota memang bukan tempat yang nyaman buat ambisi tak bertuan. Keinginan sang wanita untuk menjadi penyanyi dalam belantika musik Ibukota tak segampang membalik telapak tangan. Sejuta rintangan terus menghadang. Sejuta aral datang menerjang, hingga keduanya terpuruk dalam kehidupan yang tak berperikemanusian. Terlunta-lunta di keramaian Kota Metropolitan yang ganas.

Dan lelaki itu harus menerima kenyataan ketika wanita itu pergi tanpa malu usai dirinya tanpa pecahan rupiah lagi hidup di Kota. lelaki itu kini hidup sebatang kara di ganasnya Kota. Tanpa kawan. Tanpa sahabat. Dan tanpa kasih sayang.

" Ini Kota Bung. Bukan Kampung," nasehat seorang kawan lamanya.

Lelaki itu hanya menelan air ludah yang terasa sangat pahit mendengar nasehat temannya itu sembari menatap rembulan malam yang malam itu tak bercahaya.

Kini setiap hari hanya muncul rasa bersalah dalam jiwanya. Rasa penyesalan itu terus mengkristal dalam nuraninya. Dan kini hanya airmata yang menetes dari dua bola matanya yang menjadi teman abadinya. Airmata yang hanya menghiasi ubin rumah kontrakannya yang mulai menghitam, sehitam jiwanya yang mati.

Lelaki itu tersentak ketika sebuah ketukan datang dari arah pintu depan rumahnya. Tergopoh-gopoh dia menuju pintu. Siapa tahu ada tetangga yang berbaik hati menghantarkannya sepiring nasi. Dan betapa kagetnya lelaki itu saat pintu terbuka seorang wanita cantik yang amat di kenalnya muncul.

" Mama," serunya dengan nada amat kaget dan pelan.

" Mari pulang Mas. Anak-anak menunggumu," sapa wanita cantik itu yang ternyata istinya.

" Aku malu Ma dengan anak-anak. Aku malu.  Aku seorang bapak yang berdosa kepada mereka," desis lelaki itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun