Minggu kedua, kantong Bujang mulai menipis. Â Rasa ingin kembali ke Kampung pun mulai menggelanyuti pikirannya. Apalagi saat menyaksikan begitu berjubelnya orang yang berlalulalang di jalanan yang membuatnya berpikir keras untuk menaklukan Jakarta. Tekadnya untuk kembali menaklukkan jakarta dengan pengetahuannya masih mampu bertahan.
" Di Jakarta itu yang penting kita jangan malu, Jang," ujar seorang temannya beberapa waktu lalu.
" Kalau kita tak malu, kita bisa hidup. Bisa survive," sambung temannya yang lain.
" Dan yang paling penting jangan kamu pikirkan soal haram dan halal. Yang penting kita bisa hidup dulu," jelas temannya lagi. Bujang pun terdiam.
Bujang akhirnya terpaksa bekerja sebagai kuli bangunan menyusul makin menipisnya persedian uang di dompetnya. Tak tahan sebagai kuli bangunan, Bujang pun bekerja sebagai salesman sebuah alat rumah tangga. Namun pekerjaan itu tak mampu mengeskalasi dompetnya. Sementara mau minta kiriman dari Ibunya, dia malu. Setidaknya dalam tiga bulan ini sudah tiga jenis pekerjaan yang dilakoninya dan tak mampu mengangkat derajat hidupnya. Bahkan dia terpaksa harus pindah rumah kontrakan yang murah. Sebuah rumah yang sangat tak layak untuk ditinggali.
Usai sholat subuh di masjid, seseorang menepuk pundaknya. Bujang menoleh. Seorang lelaki setengah baya, seumuran almarhum Ayahnya mengagetkannya.
"Ananda tinggal di dekat sini,ya," sapanya dengan ramah.
"Oh, iya Pak. Ada yang bisa saya bantu Pak," jawab Bujang.
"Apakah ananda sudah bekerja?" tanya lelaki itu.
"Saya masih mencari kerjaan Pak," jawab Bujang saat keduanya beriringan meninggalkan masjid.
"Apakah Ananda mau menjadi sopir saya," tanya lelaki itu.