Ibu Yayuk gelisah. Setidaknya sudah seminggu ini kegelisahan itu datang menghampiri tubuh tuanya. kegelisahan wanita setengah baya itu bukan soal naiknya harga daging sapi di pasaran. Bukan sama sekali. Dan kegelisahan jiwanya bukan pula dikarenakan naiknya harga sembako menjelang Idul Fitri. Tidak sama sekali.
Kegelisahan wanita setengah tua ini berawal dari narasi anak semata wayangnya, Â yang ingin merantau ke jakarta. Dan sebagai orang tua, dia sangat melarang, bahkan sama sekali tak mengizinkan putranya untuk mengadu nasib di Ibukota. Maklum peninggalan warisan suaminya sudah sangat cukup untuk kehidupan dia dan anaknya.
Hektaran sawah dengan hasil yang melimpah mareka peroleh tiap tahunnya. Demikian pula dengan toko pertanian yang kini dikelola anaknya sudah sangat layak untuk kehidupan dia dan anaknya. Belum lagi peninggalan almarhum suaminya yang lain berupa sapi. Tapi anaknya tetap ngotot dan bersikeras untuk mencoba ganasnya jakarta.
"Mohon di pikir kembali, Nak keinginanmu untuk bekerja di jakarta. Apa yang sekarang kita nikmati tak cukup untuk modal hidupmu nanti," tanya Ibu yayuk kepada anaknya yang bernama Bujang.
"Bukan soal materi,Bu. Tapi ini soal bagaimana saya belajar hidup di kota secara mandiri. Saya ingin menantang jakarta yang katanya ganas,Bu," jawab Bujang.
"Sudah banyak cermin Nak. Sudah banyak contoh tentang realita bagaimana buasnya rimba Jakarta. Sudah banyak teladan yang diberikan  teman-temanmu yang akhirnya kembali ke Kampung karena tak mampu melawan ganasnya jakarta," lanjut Ibu Yayuk.
"Jakarta itu kejam Nak. Rimba yang sangat buas. Tak ada rasa kemanusian disana. Mohon dipikirkan kembali niatmu itu Nak," sambung Ibu yayuk dengan diksi memelas.
"Mareka tidak berpendidikan,Bu. Mareka tidak berpengetahuan. Aku kan sarjana. Beda dengan mareka," kilah Bujang.
Namun sikap Bujang yang tetap bersikeras untuk menantang jakarta, dengan derai airmata dan sejuta doa, akhirnya Ibu Yayuk mengizinkan Bujang merantau ke jakarta. Sejuta nasehat dinarasikan ke telinga putranya. Dan segepok uang pun diberikannya kepada anak semata wayangnya.
Bujang pun tiba di jakarta, sang ibukota negara. seminggu pertama, Bujang masih bisa senyum dan tertawa menatap jakarta. maklum bekal dari sang Bunda masih terbilang banyak. Tak heran beberapa pusat Kota jakarta dijelajahinya. Blok M sudah dikunjunginya. Demikian pula dengan plaza Senayan. Bahkan Taman Mini serta Ragunan pun sudah dilihatnya. Termasuk ke Kota Tua.
" Jakarta memang istimewa dan luarbiasa," desisnya.