Senja itu pelangi memburam. Sinarnya tak berdiorama warna warni. Ada keburaman dalam sinarnya. Ada kemuraman dalam cahayanya. Seolah menggambarkan kepedihan hati seorang wanita setengah baya yang sedang menatap senja itu yang berpelangi. Seakan-akan menyiratkan sebuah kelaraan jiwa yang mendalam. Tatapan matanya hening menatap lengkungan jingga senja itu. Entah apa yang sedang dia perbincangkan dengan hatinya. Tak ada yang tahu. Senja semakin menggelap tanda malam akan tiba. Dan rumah adalah istana kemewahan bagi setiap manusia untuk mengistirahatkan diri. Tapi wanita itu seakan-akan enggan pulang.
Semenjak rumahnya dijadikan iklan oleh para sahabatnya untuk dijual, wanita itu bukan hanya kebanjiran tawaran hargatinggi untuk rumahnya. Namanya melejit sebagai selebiritis baru bagi panggung media berekpresi. Awak media terus memburunya untuk mendapatkan info-info terkini dan teraktual.
Dan dalam rentang 3 pekan, namanya menjadi trending topik di media. Seluruh jagad raya mengenalnya. Semua media mewartakannya. Dan yang amat mengecewakannya, rumahnya pun belum terjual sesuai dengan keinginannya.
"Saya itu hanya ingin menjual rumah dan masalah saya selesai. Dan saya tak berniat menjadi selebritis. Itu kisah lama yang tak bertuan bagi saya," ungkapnya kepada sahabatnya.
"Saya mengerti dan memahaminya. Mbak. Tapi karena ini sudah menjadi media darling, mau tak mau Mbak harus siap menghadapinya. Itu adalah konsekwensi dari sebuah dampak beriklan di media," jawab sahabatnya.
'Saya mengerti. Yang saya tak mengerti dan tak habis pikir kenapa hingga hari ini, rumah yang saya iklankan tak terjual? Padahal itu kan yang lebih penting bagi saya daripada diwawancarai media-media itu. Dan ingat saya tak berniat lagi menjadi seorang penyanyi. Itu kisah tempo dulu," ujarnya dengan nada setengah ketus.
"Sabar mbak. Menjual rumah itu tak segampang membalik telapak tangan lho. Tak segampang kita menjual kacang goreng atau roti. Saya sudah berpengalaman," jawab sahabatnya menyabarkan kegundahan wanita setengah baya itu.
Wanita setengah baya itu baru menyadari bahwa konsekwensi sebuah perjalanan hidup yang tak lurus bukan hanya menghamparkannya dalam sebuah kedukaan yang menggunung. Lebih dari itu, sebuah tantangan harus dijawabnya dengan kelaraan yang tak pernah dibayangkannya. Keindahan hidup yang semula dibayangkannya ternyata hanya fatamorgana. Kebahagian hidup yang diimpikannya terhanya hanya sebuah tepian. Dan dia kini mulai menyadarinya. Ternyata impian dan cita-cita tak berbanding lurus dengan keinginan manusia.
Ambisinya untuk menjadi penyanyi terkenal bukan hanya membuat dirinya harus berpisah dengan lelaki yang telah menyayanginya selama ini, namun ambisi tak bertuan itu telah menyeretnya dalam kehidupan hidup yang merendahkan martabatnya sebagai seorang wanita berkodrat. Ambisinya menyeretkannya terlibat dalam gelapnya malam yang durjana. Dan lelaki yang dianggapnya mampu untuk mengorbitkannya sebagai penyanyi papan atas, tak lebih dari seorang pecundang. Habis manis sepah pun terbuang. Hanya seorang parasit.
"Saya menagih janji kamu yang akan mengorbitkan saya sebagai penyanyi. Mana realisasinya. Mana janji manismu itu?," tanya wanita setengah baya itu kepada lelaki di sebuah kamar penginapan klas melati.
"Mbak harus sabatr dan sabar. Persaingan untuk masuk rekaman bukan hanya soal kecantikan dan suara yang bagus, tapi ada faktor lainnya," jawab lelaki itu sambil memberi kode lewat jari jempol dan telunjuknya.
"Saya memahami. Tapi sudah berapa banyak fulus yang saya keluarkan, tapi tanda-tanda itu sama sekali tak ada. kamu kok tak mensinyalkan bahwa realisasi itu terukur," ungkapnya.