Mohon tunggu...
Rusmin Sopian
Rusmin Sopian Mohon Tunggu... Freelancer - Urang Habang yang tinggal di Toboali, Bangka Selatan.

Urang Habang. Tinggal di Toboali, Bangka Selatan. Twitter @RusminToboali. FB RusminToboali.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerita Lara Hati Bapak

7 April 2016   21:41 Diperbarui: 7 April 2016   21:45 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam benderang. Bintang gemerlapan. Cahayanya berhamburan diangkasa. Ramaikan jagad raya. Disebuah rumah di sebuah kawasan yang moderen, para tamu ramai memenuhi rumah brarsitektur moderen itu. Tuan rumah tampak bahagia. Wajahnya sumringah. Sebuah kesan bahagia terpancar dari jiwanya. Senyum khasnya ditebar keseluruh tamu yang hadir.

" Insya Allah, kami yakin. Bapak akan kembali memimpin daerah ini," ungkap seorang warga sambil menyalami sang tuan rumah.

Sebuah senyuman tuan rumah menghampiri warga tadi. Jabat tangan pun erat.

" Kalau Bapak menang, maka kalian semua akan bahagia. Pembangunan akan dilanjutkan," sahut sang istri tuan rumah dengan nada gembira.

" Tepat sekali Bu. Pembangunan di kampung-kampung akan meningkat," jawab warga itu sembari pamit pulang.

Majunya Bapak dalam pesta demokrasi kali ini banyak mendapat tantangan dari banyak pihak. Tak hanya kelompok warga yang kritis dan ingin pembangunan daerah maju, namun tantangan Bapak mengalir dari keluarga besarnya. Mareka menolak Bapak untuk kembali bertarung dalam pesta demokrasi.

" Saya minta kakak untuk tidak mencalonkan diri kembali dalam pesta demokrasi kali ini. Tak akan mendapat dukungan dari masyarakat," pinta adik Bapak.

" Alasannya," tanya adik Bapak yang lain.

" Apa prestasi kakak selama 5 tahun ini? Apa? Selama kakak memimpin daerah ini banyak masalah. Saya paham itu karena saya birokrat di daerah ini," jawab adik Bapak yang bekerja di pemerintahan.
" Ah...kamu itu terlalu banyak bergaul dengan LSM dan membaca koran," jawab adik Bapak yang lain.

Sementara Bapak hanya terdiam mendengar perdebatan adik-adiknya. Dalam hati Bapak membenarkan apa yang dikemukan sang adik. Tak ada yang patut dibanggakannya selama memimpin daerah ini. Malah seribu problem muncul di era kepemimpinannya. Namun desakan dari berbagai pihak tak terkecuali dari sang istri membuat dirinya harus kembali bertarung. Apalagi sebagai petahana dirinya sangat diuntungkan.

" Kalau Bapak tak mencalonkan diri mau kerja apa? Jadi pengusaha lagi? Atau jadi petani lagi? Ini bukan musimnya lagi Pak. Ini era kekuasaan. Walaupun Bapak banyak uang namun kalau tak ada kuasa tak kan dihormati publik," ungkap sang istri pada suatu malam saat mareka sdang menikmati indahnya malam purnama.

" Dulu saya juga warga biasa. Tetap dihormati warga," jawab Bapak.

" Itu dulu. Sekarang beda. Kini bejibun pengusaha klas kakap yang lahir di negeri ini. Kekayaannya melampui harta Bapak. Dan mareka masih muda. Masih energik. Bapak?," tanya sang istri.

" Persoalannya apakah masyarakat masih mau memilih saya sebagai pemimpin mareka? Sementara saat saya memimpin saya tak terlalu memperhatikan mareka. Saya menyia-nyiakan amanah mareka," jawab Bapak.

" Itu persoaln kecil. Kalau ada ini semua pasti lancar," jawab sang istri sambil menggesek jari jempolnya dengan jari telunjuknya. Bapak terdiam. Desiran angin malam pun terhenti. Demikian pula dengan kerlap kerlip bintang dilangit tujuh pun terhenti kilatannya yang indah. Seolah ikut merasakan lara Bapak.

Majunya kembali Bapak dalam perhelatan demokrasi kali memunculkan pesemistis yng luarbiasa dalam pikiran publik. Para pengamat pun telah memprediksi bahwa ini adalah awal kejatuhan Bapak.

" Saya heran apa yang menjadi alasan beliau ingin mencalonkan diri kembali ditengah minimnya prstasi beliau sebagai pmimpin daerah ini?," tanya seorang Ketua LSM.

" Kekuasaan," jawab seorang warga.

" Apa beliau tidak tidak memperhitungkan statistik beliau yang makin menurun dimata publik," tanya warga yang lain.

" Beliau berasumsi duit akan mengubah semuanya," jawab warga yang lain.

" Pemimpin yang malang," sahut seorang warga.

Bapak makin percaya diri ketika dalam suatu pertemuan warga yang datang ramai. Senyum khasnya kembali menebar bumi. Percaya dirinya kembali mengeskalasi jiwanya. Sejuta harapan kembali dipungutinya. Ada kebahagian yang tak terperikan dalam nuraninya yang terdalam. Ada segudang bahagia menyelinap dalam otak ambisinya.

" Alhamdulilah hari ini warga ramai yang datang," ujar Bapak.

" Itu pertanda yang baik," sahut timses Bapak dengan nada optimisme yang tinggi.

" Apakah warga datang karena diiimingi sesuatu? Buktinya usai pembagian sembako mareka langsung pulang. Bapak tak sempat berorasi," jelas adik Bapak. Semua terdiam. Tak ada yang menjawab. Istri Bapak juga terdiam. Dia mulai membenarkan narasi adik Bapak. Kejadian ini terjadi selama masa kampanye. terlihat dengan jelas. Warga selalu ramai mendatangi lokasi kampanye Bapak kalau ada pembagian sembako dan kain sarung plus amplop.

Kekhawatiran Bapak akan kalah mulai terlihat saat mendekati hari pencoblosan. Warga sepi di rumah Bapak. Yang ada hanya para timses. Itu pun karena ada keperluan untuk bahan kampanye. Dan kalau tak ada keperluan para timses pun jarang datang. Tak heran selama masa kampanye Bapak banyak ditemani istri dan kolega istrinya yang hobbynya cuma berjoget di atas panggung meluapkan emosi jiwa yang galau dimakan zaman.

Sore usai pencoblosan, Bapak tampak lesu. Tak ada kegairahan seperti bisanya. Tak ada optimisme yang melanda jiwanya. Tak ada lagi senyum khasnya yang selama ini menjadi trade mark dirinya saat memimpin.Tatapan matanya nanar menyaksikan tumbuhan di kebunnya yang mulai gugur dimakan musim kemarau yang demikian panjang.

Seseorang datang menghampirinya. Dan Bapak sudah tahu apa yang hendak disampaikannya.

" Saya kalah," ujar Bapak sebelum timsesnya menyampaikan sesuatu. Timsesnya hanya terdiam. Ada rasa bersalah dalamjiwanya.

" Lebih baik kamu pulang saja. Saya ingin sendiri di sini," pinta Bapak. Tanpa basa basi timses Bapak langsung ngacir. Langkah seribu.

Suara azhan magrib menyadarkan bapak. Bergegas Bapak meninggalkan kebunnya untuk segera menyegerakan diri menghadap Sang Pencipta. Suara sakral azan iringi langkah Bapak untuk berserah diri kepada Sang Maha pencipta. (Rusmin)

Toboali, Bangka Selatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun