[caption caption="Ilustrasi Cerpen Gde Aryantha Soetama: Sumpah Serapah Bangsawan (KOMPAS)"][/caption]Lelaki itu terkulai. Sementara malam makin merenta. Hempasan angin malam menghantam ulu hatinya tanpa ampun. Lolongan anjing liar semarakan malamnya. Cahaya rembulan yang temaram hantarkan mimpi kusutnya tanpa mampu dikibaskan.
Lelaki itu pun masih terkulai. Sementara sinar mentari kepagian datang. Sinar panasnya menyirami tubuh lelaki itu tanpa ampun. Menghangatkan naluri kelaki-lakiannya yang hampir mati ditelan narasi kotor yang diumpatkan manusia sekitar ke udara cakrawala yang bebas. Cahayanya pun warnai lalulintas kehidupan manusia. Hempasan noda dari mulut-mulut bau yang menghantam nurani tanpa ampun dan tak dapat ditepisnya. Suara kokok ayam dan derap langkah manusia berkehidupan juga warnai hidupnya. Dan lelaki itu masih terkulai.
Hidup bagaikan roda yang terus berputar. Kadang diatas, kadang dibawah. Siklus kehidupan ini sangat dipahami lelaki itu sebagai sebuah kodrati kehidupan dunia yang harus dijalani dengan senyuman dan kepahitan. Dan itu amat disadari lelaki itu sebagaimana yang dinasehatkan ibunya saat dirinya masih kecil sebagai pegangan hidup.
“Hidup ini tak selalu diatas. Kadang dibawah. Maka pandai-pandailah membawa diri saat diatas biar saat jatuh tak begitu terasa sakitnya,” nasehat ibunya.
Lelaki itu dulunya adalah lekaki yang amat flamboyan. Disegani lawan dan kawan. Gagasan dan idenya kerap muncul di media massa. Kutipannya kerapkali menyelinap di otak kanan para pemimpin sebagai bentuk kontrol.
Kedekatannya dengan pemimpin dikarenakan ide dan gagasan briliannya yang dianggap bisa membantu mengeskalasi kemajuan sebuah daerah.
Dibalik keorisinalan ide dan gagasannya, lelaki itu adalah manusia yang lemah. Kehangatannya makin memburam saat di rumah. Kehangatan hidupnya seolah tumbuh saat bisa berbincang dengan wanita muda nan ramah tamah.
Kecocokan cara pandang dan berpikir membuat keduanya makin akrab. Seolah saling melengkapi. Bak sendok dan garpu. Dan wanita muda itu pun merasa amat cocok dengan lelaki itu. Apalagi kemurahan hati lelaki itu kadang diluar batas normal yang belum pernah didapati wanita muda ini selama hidupnya.
Tak pelak, tawaran untuk berumah tangga pun acapkali ditolak oleh wanita muda itu walaupun datangnya bertubi-tubi bak mesiu yang dilontarkan lawan saat perang. Tak terkecuali datang dari pimpinan kerjanya yang pelit dan kikir itu.
Lelaki itu tak akan pernah paham dan memahami seumur hidupnya bagaimana mungkin orang terbaik disisi hidupnya selama ini, harus mengubah derajat kehidupannya menjadi impoten dan terkulai bak manusia tanpa martabat diri dan arah hidup yang cerah.
Curhatan orang terbaik disisinya membuat dia kembali harus terkulai diderasnya kompetisi hidup yang makin ganas dan saling memakan. Derajat kehidupannya sebagai manusia kini merendah dan jadi bahan perguncingan para masyarakat disetiap sudut kota tanpa ampun. Martabat hidupnya sebagai manusia juga terhinakan dan menjadi trending topik perbincangan manusia penghuni kota tanpa terapologikan. Dan lelaki itu terkulai.
Lelaki itu terkulai diderasnya arus kehidupan yang menghantamnya tanpa ragu, seakan-akan ingin membinasakannya dalam percaturan hidup sebagai manusia lewat perbincangan yang ternyata bisa mematikan langkah seorang manusia tanpa ampun.
Suara azan bergema. Religiuskan jagad raya. Ajakan dari seorang lelaki tua bersorban menghantarkannya ke rumah Sang Maha Pencipta untuk bersujud dan memohon ampunan serta petunjuk sebagai bekal hidup menatap masa depan yang makin menggganas di depan mata.
Dan lelaki itu kini berdiri tegak menatap alam dan cakrawala dengan kepala tegak, jiwa yang bersih. Siap mengarungi derasnya arus gelombang kehidupan yang makin ganas nan buas bak hutan rimba. (Rusmin)
Toboali, Bangka Selatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H